WPdotCOM, Jakarta — Secara filosofis, tradisi pencak silat menonjolkan gerak dan bunyi. Secara turun-temurun, masyarakat selama masa itu membentuk cara pengendalian diri melalui tradisi pencak silat.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI Hilmar Farid menjelaskan, terdapat perbedaan yang signifikan antara silat yang diusulkan Malaysia dan tradisi pencak silat Indonesia. “Silat di Malaysia adalah seni bela diri yang arahnya lebih kepada olahraga. Tradisi pencak silat yang kita usulkan lebih fokus kepada filosofi sehingga menurut kita sangat erat kaitannya dengan deskripsi warisan budaya tak benda UNESCO untuk kemanusiaan.”
Menjawab keterkaitan antara tradisi pencak silat dengan kemanusiaan, Hilmar Farid menjelaskan, landasan adanya Konvensi UNESCO tahun 2003 berfokus pada warisan budaya intangible. Dalam hal ini UNESCO melihat praktek-praktek yang ada di masyarakat yang bisa berkontribusi terhadap kemanusiaan. “Warisan budaya jumlahnya banyak sekali, sementara yang menyumbang pada perdamaian, stabilitas, pembangunan, dan kemanusiaan. Makanya namanya representative list yaitu daftar berbagai macam praktek terpilih yang tujuannya untuk kemanusiaan.
“Intagibel culture of heritage dalam perspektifnya UNESCO (adalah tradisi) milik masyarakat, bukan milik negara. Mereka tidak melihat negara ini sebagai pemilik eksklusif dari budayanya, tapi warisan budaya takbenda itu miliknya masyarakat.”
“Masyarakat kita kan mobile, 100 tahun yang lalu masyarakat berpindah, dibawa juga kebudayaannya ke sana sehingga di daerah lain juga tumbuh. Negara ini (Indonesia) menjadi fasilitator yang mengantar usulan masyarakat itu ke sidangnya UNESCO,” lanjutnya.
Merujuk pada laporan Surya Rosa Putra dari Kolombia bahwa Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO dalam sidang menyampaikan apresiasinya terhadap maraknya kegiatan berupa festival yang tidak hanya merupakan bentuk pelestarian tapi lebih jauh mendorong persaudaraan lintas wilayah di antara komunitas pencak silat di Indonesia dan di dunia internasional.
Dengan ditetapkannya tradisi pencak silat, maka Indonesia telah memiliki sembilan elemen budaya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Delapan elemen yang telah terdaftar sebelumnya adalah Wayang (2008); Keris (2008); Batik (2009); Angklung (2010); Tari Saman (2011); Noken Papua (2012); Tiga Genre Tari Tradisional di Bali (2015); Pinisi, seni pembuatan perahu dari Sulawesi Selatan (2017); ditambah satu program terbaik yaitu Pendidikan dan Pelatihan Batik di Museum Batik Pekalongan (2009).
Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim bangga atas masuknya tradisi pencak silat sebagai warisan budaya takbenda bidang kemanusiaan versi UNESCO. “Dimasukkannya pencak silat dalam representative list UNESCO tentu adalah kebanggaan bagi kita semua. Perjuangan yang panjang akhirnya membuahkan hasil.”
Menurutnya, ada empat aspek pencak silat, yakni mental-spiritual, pertahanan diri, seni, dan olahraga, yang membuatnya tercatat sebagai salah satu warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) masyarakat Indonesia. “Pencak Silat adalah warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih terus hidup sampai sekarang dan sangat bernilai dalam pembentukan jati diri dan karakter di Indonesia,” ujarnya.
Hilmar menyampaikan, betapa tradisi pencak silat mampu menguatkan karakter berbudaya di Indonesia karena disinilah generasi muda diajarkan mengendalikan diri, tubuh, dan emosi. Terbukti dengan banyak sekolah yang sudah menjadikan Pencak sebagai ekstrakurikuler.
“Jika anak-anak mendapat pelatihan yang baik, maka dimensi saling memahami dan toleransi akan terbangun. Kita lihat bahwa di perguruan pencak silat, pengendalian diri itu sangat ditekankan. Bahwa kamu punya kekuatan hebat secara fisik justru harus membuat kamu semakin merendah. Nilai inilah yang berkontribusi besar dalam ketahanan budaya,” terang Hilmar.
Menurut Hilmar, pencak silat adalah suatu tradisi yang membuat orang dan masyarakat bisa mengendalikan segala macam impuls (rangsangan) dan mengarahkannya menjadi energi positif. “Kalau itu dilakukan kita akan memiliki kehidupan sosial yang penuh kerukunan dan solidaritas. Tradisi pencak silat dianggap bisa berkontribusi terhadap bidang kemanusiaan tersebut,” ujar Hilmar.
Kemendikbud sebagai institusi Pemerintah yang menaungi pemberdayaan tradisi, mempunyai tugas penting untuk mengintegrasikan pencak silat dalam pendidikan karakter. Sebagai langkah awal, Kemendikbud akan menyelenggarakan pertemuan dengan semua komunitas pencak silat dan Kementerian Pemuda dan Olahraga supaya amanah pelestarian tradisi ini dapat berjalan dengan baik.
“Sekolah sudah banyak yang menjadikan (tradisi) pencak silat sebagai ekstrakurikuler. Kita bisa angkat jadi bagian atau komponen pendidikan karakter. Mudah-mudahan kita bisa mengintegrasikannya ke dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK),” harapnya.
Di akhir taklimat media, Arief Rachman menekankan besarnya kontribusi nilai tradisi pencak silat bagi kerukunan sosial bermasyarakat. Tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, ia merupakan identitas dari komunitas itu sendiri. “Jangan lupa tradisi keterampilan dan adat istiadat ini perlu diwariskan,” tutupnya. (sumber: laman kemdikbud RI)