WPdotCOM — Manusia, hidup dalam kesehariannya dengan tujuan, keinginan, dan segala hal yang menjadi passion untuk diraih.
Semua itu adalah bentuk dari hidayah yang diberikan Allah. Kemauan akan sesuatu, keinginan memiliki segalanya, adalah hidayatul fithrah yang disematkan Sang Maha Pencipta. Hidayah pada jenis ini, seperti insting bagi setiap makhluk hidup. Keinginan menyatakan rasa lapar oleh bayi yang belum bisa bicara, hanya ditunjukkan dengan sikap dan gerak tubuh, adalah fithrah yang dihidayahkan Allah agar dapat menyampaikan keinginannya. Atau seperti kedipan kelopak mata saat debu yang bertebaran mendekati wajah, tanpa pernah diajari, reflek yang demikian juga merupakan insting yang secara alamiah telah dianugerahkan. Hidayatul Fithrah, menjadi alat bagi manusia untuk bertahan hidup tanpa perlu belajar.
Jenis hidayah ini, yang biasa juga dikenalkan dengan sebutan Hidayatul Wijdan, terbentuk dalam dua sisi. Ada sisi yang disebut dengan hidayah jasmani. Seperti rasa lapar, reflek kelopak mata, dan lainnya. Dan sisi kedua adalah hidayah fithrah yang bersifat rohani. Hal ini ditandai dengan manusia memiliki rasa. Rasa malu, sedih, gembira, adalah contoh hidayah fithrah yang hadir dalam diri manusia tanpa dipelajari.
Selanjutnya, semua manusia dibekali dengan alat indera. Manusia mampu melihat, bisa merasa apa yang diraba, pandai mendengar karena ada telinga, mencium bau dan membedakannya karena memiliki penciuman, serta memiliki indera pengecap sebagai pembeda rasa yang ditimbulkan dari makanan. Semua itu adalah hidayah Sang Maha Penguasa. Hidayah indrawi ini dikenal dengan sebutan Hidayatul Hawas wal Masyair.
Selain insting dan panca indera, manusia juga diberi akal sebagai alat untuk berpikir. Ini adalah hidayah Sang Maha Pemberi Nikmat. Dalam kajian agama disebut Hidayatul Aqli. Hidayah ini, menjadikan manusia sebagai makhluk pebelajar. Mampu mengenali segala sesuatu melalui pembelajaran yang diberikan kepadanya. Dengan kemampuan menyimpan data pelajaran yang sungguh luarbiasa, manusia menjadi ahli, terampil dengan ingatan yang disimpan dalam otak dengan segala file yang beragam dalam waktu panjang.
Lengkap sudah bagi manusia. Memiliki insting secara fitrah, memiliki indrawi yang luarbiasa kemampuannya, serta dibekali pula dengan akal yang cerdas, dengan segala bentuk kelebihan.
Namun, bagi manusia yang menggunakan akalnya, semua hidayah yang diberikan itu tidak serta-merta menjadikannya angkuh sebagai makhluk terbaik.
Lihatlah, betapa insting manusia bukan sesuatu yang sempurna. Tidak semua insting itu menjadi kebenaran. Ada masanya insting manusia malah menjadi media yang mencelakainya dalam kehidupan.
Cermatilah bahwa dengan indrawi yang luarbiasa, manusia tidak bisa menonjolkan dirinya sebagai makhluk tanpa kekurangan. Memiliki mata, namun kadang melihat sesuatu yang tidak seperti kebenaran hakiki. Sebagai contoh, mengapa manusia tertipu dengan fatamorgana? Jelas saja, karena keterbatasan penglihatan mata. Mengapa manusia dikalahkan dengan penglihatan yang salah saat menyaksikan pensil di dalam wadah air yang terlihat bengkok alias tidak lurus? Semua itu karena keterbatasan mata untuk menyesuaikan keadaan yang nyata di alam ini.
Bicara tentang pendengaran, tidak semua yang bisa didengar manusia. Hanya bunyi-bunyian tertentu. Ambang frekuensi bunyi yang dapat didengar oleh manusia berkisar hanya getaran dengan frekuensi 20Hz sampai 20.000Hz, pada amplitudo getaran dengan berbagai variasi dalam kurva responsenya. Suara yang disebut ultrasonik (di atas 20.000Hz), dan infrasonik (di bawah 20Hz) tidak mampu didengar oleh telinga manusia.
Lain lagi halnya dengan indera pengecap, siapa di antara manusia yang berani bertaruh untuk menyatakan kemampuan lidahnya membedakan madu asli dan madu buatan? Orang waras akan menyadari, lidah ternyata juga bukan indera yang sempurna dan dapat dijadikan alat kesombongan. Sama seperti kulit sebagai indera peraba, yang tidak serta-merta mampu membedakan segala sesuatu. Atau dengan indera penciuman yang juga jamak memiliki kesalahan dalam kinerjanya.
Diskusi tentang akal, bukankah banyak ditemui dalam sejarah peradaban manusia, akal kadang lepas kendali dan menjadikan manusia terpecah-belah hanya karena petunjuk salah dari pikiran? Ego manusia dengan akalnya, sering memunculkan kesalahan mengomunikasikan antar kepentingan dalam masyarakat komunal dengan segala keinginan dan harapan. Akal yang cerdas saja, ternyata juga tidak mampu menjadikan manusia hidup damai, aman, dan sentosa.
Akhirnya, sebagai manusia, kita harus mengakui bahwa Sang Maha Pemberi Nikmat telah mengatur segalanya untuk kebaikan manusia itu sendiri. Allah memberi hidayah penyempurna untuk segala kekurangan dari hidayah yang melekat di tubuh manusia. Nikmat itu disebut, Hidayatuddien, hidayah agama.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar-Rum:30)
Dengan kehadiran hidayah agama, manusia menjadikan semua kelebihannya sebagai media untuk melakukan kebaikan. Bukan mencapai passion tanpa tuntunan keyakinan pada Sang Maha Penguasa Langit dan Bumi. Tidak akan ada lagi orang yang tersakiti karena kecerdasan pihak lain. Tidak ada lagi manusia yang direndahkan karena berhadapan dengan saudaranya yang memiliki kelebihan dalam hal apapun. Kita semua sama, sama-sama makhlukNya. Dan akan kembali kepadaNya. (*)
Penulis: Nova Indra (Pimpinan lembaga P3SDM Melati)