WPdotCOM — Suatu sore saat saya berkunjung ke rumah saudara, sekedar bersilaturrahmi seperti biasanya. Namun ada sesuatu yang menggelitik saya ketika melihat pemandangan miris, anaknya menangis tiada henti.
Saya hanya bisa melihat anaknya merengek meminta untuk tidak masuk sekolah esok hari. Dan tak henti-hentinya pula sang ibu memberi pengertian dan menghibur si anak. Kurang lebih 2 jam anak itu menangis, akhirnya bisa mereda emosinya.
Setelah kondisi dalam ruangan keluarga tempat kami berkumpul kondusif untuk saling bercengkrama, saya tertarik untuk bertanya. Saya menanyakan tentang mengapa anaknya yang masih duduk di kelas TK B segitu phobianya dengan sekolah, apa yang sudah terjadi?
Gantian sekarang ibunya yang meneteskan air mata tiada hentinya. “Bingung, langkah apalagi yang harus ditempuh untuk menjembatani kondisi mencekam yang dialami si anak terhadap si guru.” Begitu ujarnya sambil meneteskan airmata.
Kemudian ia bercerita, berawal dari suatu hari si anak sepulang sekolah menangis sambil menunjukkan buku tulis yang sudah dicoret dengan gambar ekspresi wajah sedih memenuhi halaman buku tulisnya. Anaknya bercerita baru saja dimarahi gurunya karena gak bisa menyelesaikan soal cerita dikte.
What?! Di Malang masih ada TK yang memenjarakan masa kanak-kanak sepert itu? Hanya karena sebuah alasan mementingkan prestise sekolah, agar lulusannya bisa masuk Sekolah Dasar favorit dan terbaik menurutmereka.
Sedikit emosional saya berpikir, di mana kemerdekaan belajar yang digaungkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim? Di mana penanaman pendidikan karakter anak usia dini? Apakah iya knowledge anak ditekankan sebegitu mencekamnya di usia TK? Anak bisa membaca saja sudah syukur alhamdulilah.
Anak usia dini belum sampai logikanya memahami suatu kalimat wahai pendidik. Anak punya karakter dan kemampuan berbeda, jangan dipasung pada standar satu sekolah saja. Belum tentu semua anak menginginkan untuk melanjutkan sekolah favorit yang ditargetnya TK itu.
Jika memang ada proses persiapan masuk SD, alangkah bijaksananya ada komunikasi dua belah pihak antara wali murid dan pihak sekolah terlebih dahulu. Minimal komunikasi tentang kemauan si anak mau meneruskan di mana. Tentu nanti akan melahirkan beragam data sekolah tujuan, yang bisa dikelompokkan tentang karakter masing-masing sekolah. Jika karakter sekolahnya high level, silahkan siswanya digembleng dengan ketat. Namun bila tujuan sekolahnya di sekolah yang umum dan standar saja, yaa biarlah anak itu mengalir apa adanya sesuai kemampuannya.
TK bukan tempat pemasungan masa bermain anak. Mari lebih bijak dalam mendidik.
Penulis: Ratna Puspitasari (Guru SMKN 6 Kota Malang)