WPdotCOM – Kasus kekerasan akhir-akhir ini semakin santer diberitakan media massa. Kegalauan melanda anak-anak karena pelaku tindak kekerasan adalah guru dan orang tua. Suasana rumah tidak lagi nyaman dan menyenangkan. Sekolah sebagai salah satu medium pendidikan karakter pun belum memberi rasa aman sepenuhnya.
Guru sebagai pengajar dan pendidik kerap menebar ancaman sehingga mengusik ketenangan dan kenyamanan peserta didik. Kekerasan yang terjadi di lingkungan sekolah dan rumah cenderung membuat anak mengalami rasa tertekan. Akibatnya, timbul sikap agresif dalam diri anak, panik, gelisah, rendah diri bahkan malas ke sekolah.
Suasana pendidikan dan pengajaran kita dalam pengamatan penulis belum bebas sepenuhnya dari tindakan kekerasan. Henry J.M. Nouwen dalam bukunya ‘Pelayanan yang Kreatif’ menegaskan, suasana pengajaran kita masih sering diwarnai kekerasan (1986:28-31). Menurut Nouwen, pendidikan sebagai sebuah pelayanan bukan pertama-tama karena apa yang diajarkan, melainkan hakikat proses pengajaran itu sendiri.
Para guru dan pendidik hendaknya menyadari bahwa unsur yang paling penting adalah hubungan dalam pengajaran tanpa mengabaikan isi pengajaran. Fakta tidaklah demikian karena isi pengajaran lebih diutamakan. Konsekuensinya, suasana pendidikan dan pengajaran lebih diwarnai kekerasan. Pertanyaannya, manakah ciri pendidikan dan pengajaran yang diwarnai kekerasan?
Menurut Nouwen, ada tiga ciri pendidikan dan pengajaran yang diwarnai kekerasan. Pertama, persaingan. Inilah ciri pendidikan modern yang paling dominan dan merusak. Mengapa? Karena cara para siswa memandang teman-teman, mengharapkan nilai, mempersiapkan ujian dan mengerjakannya, semuanya diwarnai persaingan. Pengetahuan bukan lagi merupakan anugerah yang mesti dibagirasakan, melainkan sebuah milik yang harus dipertahankan.
Kedua, mengajar satu arah. Mandulnya daya kritis, kreativitas, kemampuan bertanya, dan kerja sama siswa dipicu oleh pengajaran satu arah. Ruang dialog partisipatif sangat kurang bahkan tidak ada. Kondisi ini diperkuat oleh pendapat Paulo Freire terkait pendidikan mekanisme bank tradisional. Anak ibarat celengan kosong yang mesti diisi. Artinya anak dijejali dengan berbagai ilmu dan doktrin tanpa perlu bertanya.
Ketiga, mengasingkan. Persaingan dan gaya mengajar satu arah menyebabkan suasana kelas tampak asing bagi siswa. Sekolah juga belum sepenuhnya dialami sebagai tempat hidup bersama. Konsekuensinya, banyak murid merasa bosan selama pelajaran berlangsung dan memilih bolos sebelum bel akhir sekolah berbunyi. Lambat laun permusuhan tersembunyi pun tumbuh antara guru dan siswa.
Kesalahan dalam Mendisiplinkan Anak
Selain ketiga bentuk kekerasan di atas, guru dan orang tua kerap terjebak dalam kesalahan mendisiplinkan anak. Tanpa disadari kesalahan tersebut memicu kekerasan. A. Mintara Sufiyanta dalam bukunya, ‘Guruku Malaikat Jiwaku’, menyebutkan sepuluh kesalahan yang dilakukan guru dan orang tua dalam mendisiplinkan anak (2011:324-329). Pertama, membentak. Kedua, menuntut tindakan segera. Ketiga, mengomel.
Selain ketiga kesalahan…