WPdotCOM –– Guru yang lahir tahun antara dekade 60-an sampai tahun 80-an, yang sering disebut dengan generasi X, harus mengajar generasi milenial (generasi Z). yang lahir tahun 90-an. Bagaimana perjuangannya?
Kelahiran generasi milenial, bersamaan dengan perkembangan pesat teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan gaya hidup. Mereka adalah generasi yang berkomunikasi, bergaul, dan familiar dengan produk-produk digital. Pada bidang pendidikan pun generasi ini menemukan gaya belajar yang tidak sama dengan generasi sebelumnya. Mereka membutuhkan pengalaman belajar yang berbeda.
Kini guru harus beradaptasi untuk bisa masuk dalam zaman mereka, harus melek teknologi. Guru yang melek digital (digital literate) sangat dibutuhkan untuk melayani anak milenial. Revolusi industri keempat (4.0) atau bisa disebut sebagai revolusi digital, memberikan tawaran yang sangat menarik bagi dunia pendidikan. Utamanya berkaitan dengan akses terhadap beragam informasi dan kemudahan untuk membagikan informasi tersebut secara cepat, di mana pun, kemana pun dan kapan pun.
Kemudahan untuk mengakses dan membagikan beragam informasi tersebut, secara tidak langsung memberikan tawaran segar bagi kemudahan penerapan heutagogi learning (self-determined learning). Cara belajar yang sebenarnya sudah ditawarkan sejak lebih dari satu dekade silam. Heutagogi adalah pendekatan pembelajaran daring yang berpusat kepada peserta didik, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator. Heutagogi menawarkan kebebasan kepada pembelajar (learner) untuk menentukan (determine) sendiri pola belajarnya. Peserta didik menjadi penggerak dan penanggungjawab atas apa yang dipelajarinya, dan bagaimana cara mempelajarinya.
Dilansir dari Hase dan Kenyon (2007), Heutagogi (berdasarkan bahasa Yunani untuk “diri”) sebagai studi tentang belajar mandiri. Heutagogi menerapkan pendekatan menyeluruh untuk mengembangkan kemampuan pembelajar, dengan belajar sebagai proses aktif dan proaktif. Dan peserta didik berfungsi sebagai “agen utama dalam pembelajaran mereka sendiri, yang terjadi sebagai hasil dari pengalaman pribadi”. Sementara guru sebagai instruktur, juga memfasilitasi proses pembelajaran dengan memberikan bimbingan dan sumber daya, tetapi sepenuhnya melepaskan kepemilikan jalur dan proses pembelajaran kepada pembelajar, yang merundingkan pembelajaran dan menentukan apa yang akan dipelajari dan bagaimana belajarnya.
Pola pembelajaran pada heutagogi adalah: 1) membuat kontrak belajar; menentukan bersama apa yang dibutuhkan peserta didik dan apa saja yang ingin dipelajari, menentukan bersama bagaimana proses pembelajaran berlangsung, menentukan bersama bagaimana proses penilaiannya, 2) mengembangkan aktivitas pembelajaran; mengidentifikasi sumber belajar yang tersedia, mengidentifikasi dan mengembangkan bersama hasil belajar yang diinginkan, 3) memberikan umpan balik; guru memberikan umpan balik pencapaian hasil belajar siswa, dan menganalisa mana yang harus atau perlu dikembangkan, dan 4) refleksi diri; mengukur sejauh mana pencapaian hasil belajar.
Sedangkan penilaian hasil belajar, dilakukan berdasarkan kontrak yang dibuat. Penilaian tidak hanya melalui tes tapi bisa juga non tes, dan yang terpenting, penilaian utama adalah peserta didik itu sendiri.
Elemen yang terpenting dalam heutagogi adalah: Pertama, eksplorasi. Yaitu peserta didik memiliki kebebasan untuk mengeksploasi berbagai pola dan sumber pengetahuan. Kedua, mencipta. Peserta didik memiliki kebebasan dalam menciptakan sesuatu. Ketiga, kolaborasi. Peserta didik saling bekerjasama menuju tujuan bersama dengan berbagi informasi, berlatih dan bereksperimen. Keempat, network. Menghubungkan jejaring adalah hal yang terpenting karena peserta didik terhubung dengan ahli di bidang ilmu yang dipelajari. Kelima, refleksi. Yaitu kesempatan di mana pembelajaran baru dan sebelumnya, terkonsolidasi dan memberikan kesempatan untuk proses kognitif tingkat tinggi.
Tetapi ada juga kelemahan dari heutagogi dari sisi peserta didik, di mana dituntut kematangan pembelajar dalam belajar. Peserta didik paham apa yang harus dikerjakan tanpa harus menunggu instruksi dari guru. Mereka harus memiliki tingkat kemandirian yang tinggi, dan visi belajar yang jelas dan pemahaman yang baik. Jika ingin memakai pendekatan heutagogi ini, maka perlu diperhatikan antara lain latar belakang antropologi dan sosiologis peserta didik, konflik yang terjadi karena belum terbiasa dengan cara belajarnya, dan menemukan pola yang tepat sehingga siswa merasa nyaman.
Kendala pendekatan heutagogi tidak hanya berasal dari siswa, dari guru pun ditemui beberapa kendala. Di antaranya menurut Rohmat Sulistya dalam Jurnal Pendidikan Kemdikbud adalah tingkat literasi teknologi digital dan media guru saat ini hanya 20% dan 14%. Artinya hanya seperlima guru yang literat dalam bidang teknologi mencakup kemampuan mengakses, menyaring, mengolah, dan memanfaatkan teknologi informasi dengan baik. Kenyataan ini haruslah menjadi perhatian semua pihak agar tidak selalu berada di era masa lalu.
Referensi
- https://geotimes.co.id/opini/heutagogi-dan-arah-pendidikan-4-0-kita
- Seminar Online “Heutagogi “ Pendekatan Pembelajaran jarak Jauh kerjasama Refo Indonesia, GEG, Kemdikbud
- https://jurnaldikbud,kemdikbud.go.id “Heutagogi sebagai pendekatan pelatihan bagi guru di era revolusi Industri 4.0.
Penulis: Laily Syaadah (Guru SMA Negeri 2 Padangpanjang, Sumbar)