Otokritik Guru dan Orangtua; Menanggapi Anak yang Suka Bertanya

Berita Opini151 Dilihat

WPdotCOM — Ada beberapa peristiwa penting yang membuat kita sebagai orangtua, guru atau orang dewasa pada umumnya, harus mengernyitkan dahi di mana tanpa kita duga terlontar pertanyaan kritis dari anak-anak yang secara rasional logika, sebenarnya mereka belum paham atau mengerti sesuai tahap perkembangannya.

Akan tetapi, mesti kita akui bahwa kondisi itu nyata kita jumpai dan kadang membuat orang-orang tertentu merasa terpojok. Bahkan bereaksi dengan membentak atau memarahi anak-anak (entah anak sendiri atau orang lain). Di sinilah letak tantangan kita. Kita seolah didesak bahkan dipaksa untuk tetap belajar dan menyiapkan diri dalam kondisi apapun.

Betapa gagalnya kita, jika semua pertanyaan yang diajukan anak-anak pada umumnya tidak mendapat jawaban yang semestinya. Tentu secara psikologis, mereka merasa kurang diperhatikan bahkan tidak dihargai. Menurut penulis, petualangan intelektualitas anak akan terhenti dan bahkan mati suri bila dibiarkan seperti apa adanya, karena selalu tidak ada jawaban dari setiap pertanyaan. Maka pada saat bersamaan telah terjadi pembunuhan intelektualitas, pemusnahan karakter eksploratif, sehingga membelenggu anak dalam masa-masa pendidikan selanjutnya.

Kisah Nyata

Beberapa minggu terakhir sebelum ada instruksi stay at home, penulis mengunjungi seorang teman di rumahnya. Saat tiba di rumah, ada dua orang anak sedang bermain kejar-kejaran. Tak lama kemudian turunlah hujan dengan lebatnya. Tanpa penulis duga sebelumnya, datanglah anak perempuan yang lebih tua usia dari teman bermainnya dan bertanya pada penulis. “Om, kenapa setiap setelah hujan muncul pelangi?” Tanyanya dengan gurau. Sontak penulis berpikir sambil mengamati kerinduan terdalam anak tersebut mendapatkan jawaban dari orang yang bisa menjawabnya sesuai keyakinannya.

Penulis tidak bisa langsung search ke google karena pada saat yang bersamaan penulis kehabisan pulsa data. Penulis sempat ingat bahwa dalam buku belajar membaca yang ditulis oleh Gerardus Diri Tukan, dosen Fakultas MIPA Unwira Kupang, termaktub pertanyaan itu sekaligus jawabannya. Penulis hanya menjawab, “om juga pernah baca tetapi lupa. Minta maaf karena tidak bisa menjawab pertanyaan nona.”

Sikap yang demikian penulis tunjukkan tentu tidak menjawab penasaran intelektual anak tersebut. Tetapi jawaban penulis membuatnya aman karena merasa dihargai, diperhatikan dan didengarkan. Menjadi persoalan sekaligus pertanyaan, apakah anak ini setelah kembali ke rumahnya, masih belum puas dan melanjutkan pertanyaan tadi kepada orangtuanya? Atau sebaliknya, tidak mau bertanya dengan alasan mendasar takut diceramahi oleh orangtua sebagai alasan menutupi ketidaktahuan atau tidak memahami benar pertanyaan anaknya tersebut?

Setelah penulis kembali ke rumah, penulis langsung membuka buku tulisan Pak Gerady Tukan. Ternyata jawabannya adalah pada saat ada sinar matahari dan hujan pun turun, maka sinar matahari akan menabrak tetes-tetes air hujan. Lalu butiran air hujan memecahkan dan membelokkan sinar matahari, sehingga sinar matahari yang tidak berwarna itu akhirnya pecah menjadi warna-warni. Bentuk melengkung adalah bentuk dari butir air hujan. Butir air hujan sebenarnya sangat kecil, tetapi diperbesar oleh sinar matahari yang memecahkan itu. Untung ada butir air hujan, sehingga kita bisa tahu bahwa ternyata sinar matahari itu ternyata berwarna warni (Aku Suka Belajar IPA, Bacaan IPA Ringan untuk Murid SD Kelas 1-3, Seri 2, Kupang: Lembata G. Tukan Media, 2018:29).

Di rumah, ternyata penulis mendapatkan pertanyaan dan pernyataan yang lebih HOTS (high order thinking skill), istilah yang digunakan dalam kurikulum 2013 yang artinya cara berpikir tingkat tinggi. Berhadapan dengan anak penulis, Agusto Atun, kerap penulis dipaksa untuk terus menata dan membentuk diri agar bersabar karena selalu saja ada pertanyaan kritis dan cerdas yang disampaikan.

Pada suatu kesempatan, ia mengatakan kepada penulis. “Bapak, di atas langit itu ada surga ya?” tanyanya.  Penulis menjawab “ya” sesuai dengan usia perkembangannya (4,5 tahun). Ia lalu pergi meninggalkan penulis. Pada kesempatan berikutnya, ketika penulis sedang menggali tanah hendak menanam jahe dan kunyit, ia mendatangi penulis dan mengatakan, “bapak jangan korek terlalu dalam nanti bapak bisa masuk neraka!”. Penulis coba menatapnya dan berdiam sambil bertanya, apakah ia berpikir tentang ‘syeol’ dunia penderitaan yang diyakini orang Yunani saat setelah meninggal? Penulis pun tidak meneruskan penggalian dan langsung menanam jahe dan kunyit yang sudah disiapkan sang istri.

Meladeni Pertanyaan Kritis

Saat menggendong adiknya (perempuan) yang masih berusia dua bulan lebih memasuki tiga bulan, penulis selingi dengan menyanyikan lagu-lagu anak sekolah Minggu. Sedang ia sendiri penulis naikkan ke atas pohon dan bermain rumah pohon. Penulis menyanyikan lagu “Iblis di Bawah Kolong”.

Begini bunyi syair lagunya: Dong, dong, dong,  kedondong, Ada iblis di bawah kolong, Hatiku mau dicolong, Tuhan Yesus Segera Tolong.

Demikian syair lagu di atas penulis nyanyikan sedang ia (Agusto) memperhatikan dan menyimak kata demi kata. Lantas terjadi dialog antara kami berdua.

“Bapak, iblis itu siapa?” tanyanya

“Iblis itu setan, roh jahat, No!” jawab penulis.

“Kolong itu apa, Bapak?,” tanyanya lanjut.

“Kolong itu artinya ruang di bawah meja, tempat tidur atau kursi,” jawab penulis menimpali.

“Colong itu apa, bapak!,” tanyanya lagi.

“Colong itu artinya mencuri, merampas,” jawab penulis lagi.

“Kenapa tidak langsung pake ‘curi’ saja, harus pake colong?” tanyanya menelusuri.

“Itu karena orang yang menciptakan lagu itu orang Jawa sehingga ia memakai bahasa Indonesia yang lebih sopan. Kalau ‘curi’, kan kedengaran kasar untuk dinyanyikan anak-anak. Demikian juga bahasa yang sering digunakan di sana itu ‘nyolong’,” demikian jawab penulis, namun dia tidak berhenti bertanya.

Bagian akhir lagu, Tuhan Yesus Segera Tolong masih dikritisi. “Kenapa pake tolong? Pake ‘membantu’ saja, bapak?,” ujarnya. Sampai dengan pagi ini (25/4), ia masih bersikukuh mempertahankan argumen Tuhan ‘membantu’. Mungkin itu konteks yang dipahaminya saat ini.

Pagi tadi saat bangun, penulis langsung search di Google arti kolong dan iblis (kbbi.web.id). Kolong mengandung arti ruang atau rongga (yang lebar) di bawah benda berkaki atau bertiang (seperti ranjang, rumah panggung), meja, kursi, dll. Sedangkan, iblis berarti makhluk halus yang selalu berupaya menyesatkan manusia dari petunjuk Tuhan; roh jahat; atau setan. Sementara itu, colong artinya mencuri.

Sambil mengetik makna kata-kata di atas, penulis memanggilnya dan menjelaskan kepadanya. Setelah ia mendengarkan dan penulis mempersilahkannya pergi untuk bermain. Inilah kesempatan kita melayani anak dengan menjawab setiap pertanyaan kritis yang mereka ajukan.

Jalan Keluar Bersama

Semua kita pasti mengalami hal yang sama meski cara kita dalam menanganinya berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, mari kita saling mengisi, belajar satu sama lain sebagai solusi bersama. Untuk membentuk anak-anak kita menjadi generasi emas yang tidak sekadar pintar, tetapi cerdas dan berkarakter. Serta terus mendidik dan mengasah hati dan nurani mereka untuk menjadi calon pemimpin yang mempunyai hati dalam melayani, tidak sekedar mempunyai konsep berpikir yang genial di zaman ini. (*)

Penulis: Albertus Muda, S.Ag (Guru SMA Negeri 2 Nubatukan-Lewoleba-Lembata, NTT)

Blibli.com
Blibli.com

Tinggalkan Balasan