WPdotCOM — Filosofi pada judul di atas, muncul saat penulis sedang menata pekarangan rumah. Di mana dalam areal tersebut, penulis menanam beberapa jenis sayuran dan satu dua jenis rempah-rempah seperti jahe, sere, kunyit dan kencur.
Usai menata kotanya sebagai penahan humus dan aliran air, penulis mengamati dari dekat rupa tanah yang didera panas matahari. Karena terik matahari, maka tanah yang tak tersentuh air tampak terbelah sana-sini, seolah bumi sedang menangis meminta sesuap nasi dan seteguk air.
Padahal dia (bumi), adalah ibu dan saudari kehidupan kita. Penulis sadar bahwa secara faktual rahim dan tubuhnya telah dirusak. Demikian juga air susunya telah diperas habis dengan cara-cara yang kurang manusiawi. Misalnya, penggusuran, pembalakan liar, pembakaran hutan, penggunaan zat-zat kimia yang tentunya menghambat manusia untuk berkomunikasi dengan alam.
Menatap dedaunan yang berlomba menguning, penulis berpikir bahwa pepohonan sedang menjalani proses adaptasi memasuki musim panas. Penulis pun terdiam dan agak was-was. Sembari memandang salah satu dahan pohon pepaya yang menunjukkan gejala menguning daunnya dari arah pucuk, penulis prihatin sebab gejala demikian menyebabkan pohon itu perlahan akan layu dan batangnya pun perlahan membusuk hingga akhirnya patah dari arah pucuk pohon tersebut.
Penulis mulai mendekatinya dan beberapa pohon yang lainnya, sejenak berkomunikasi dengan mereka. “Jangan layu apalagi mati, sebab kami sudah bekerja lelah mulai dari menanam, merawat dan menyirammu. Kami mohon maaf, barangkali debit air yang kami berikan tidak cukup memenuhi rasa haus dan lapar yang engkau (pohon) butuhkan.” Demikian penulis menyampaikan kekuatiran akan bahaya kematian yang bisa saja dialami atau menimpa mereka. Apalagi pohon itu sedang berbuah, tentunya sangat diharapkan bisa diolah menjadi sayur yang lezat bagi keluarga.
Pada suatu sore menjelang malam, penulis kembali mendatangi pohon-pohon tersebut seolah mengajak mereka berbicara. Berharap mereka dapat memahami kegalauan hati yang telah lelah dan payah bekerja mengisi waktu luang selama masa belajar di rumah demi memutus mata rantai pandemi Covid-19. Wabah yang saat ini melanda dunia, sehingga ratusan ribu nyawa menjadi korbannya.
Harapan penulis, semoga mereka mendengarkan keluh-kesah dan kekuatiran. Penulis yakin bahwa semua ciptaan memiliki indra, termasuk indra pendengaran, meski tak sesempurna yang dimiliki manusia. Penulis mulai berpikir keras untuk menata kembali susunan-susunan batu di sekeliling pohon-pohon itu. Barangkali ruang gerak dan akar pohon tersekat sehingga tidak mampu lagi menancap ke kedalaman tanah untuk mencari sumber air dan makanan untuk kehidupannya.
Penulis dengan sabar dan setia melakukan pemugaran tempat di mana pohon-pohon itu ditanam. Pagi dan sore, dengan setia menyiram di area pohon-pohon itu dengan suatu harapan, mereka bisa puas di tengah rasa keterdesakan untuk beradaptasi. Tak bosannya penulis mengunjungi mereka (pohon-pohon) sambil menyentuh satu per satu dan berkata, “Tuhan, jangan biarkan mereka merana apalagi mati karena kami masih sangat membutuhkannya untuk menjadi sayurmayur di masa pandemi Covid-19 juga pasca pandemi!”
Selain kepada Dia yang menciptakan segalanya, penulis juga berkomunikasi dengan alam di sekitar dengan berkata, “Bersahabatlah dengan kami, sebab kami telah menata dan mengolahmu. Dari rupa yang dipenuhi bebatuan, kini kami telah menatamu sehingga saat musim hujan yang telah lewat humus tanah boleh terjaring oleh batu sehingga tersedia makanan untuk tanaman yang ada dalam areal ini!”
Urgensi Komunikasi Rangkap Empat
Kisah sederhana di atas, sesungguhnya sedang mengantar kita semua untuk memahami bahwa ada satu jejaring atau rantai komunikasi yang mesti kita bangun. Selain berkomumikasi dengan Tuhan dan sesama, kita juga diajak untuk membangun komunikasi dengan diri sendiri, dan dengan alam semesta. Inilah yang dinamakan dengan komunikasi rangkap empat.
Komunikasi rangkap empat ini mesti dibangun karena kehilangan hubungan komunikasi dengan salah satu unsurnya, akan menimbulkan kepincangan bahkan mendatangkan sanksi atau hukuman. Oleh karenanya, antara yang Ilahi (Tuhan), manusia (sebagai person tunggal dan sesama secara komunal) juga alam mesti terjalin hubungan komunikasi yang harmonis. Bukan sebaliknya, malah memicu terjadinya disharmoni (ketidakselarasan hubungan) antara keempatnya.
Hilangnya hubungan komunikasi, atau sengaja meniadakan komunikasi dengan salah satu dari keempat unsur di atas, akan menjadi laknat atau kutuk, juga malapetaka. Misalnya, ketika kita mengabaikan Tuhan, kita pasti tidak akan selamat. Ketika kita putus hubungan dengan sesama dan diri sendiri, kita menjadi terisolasi bahkan teralienasi (terasing). Ketika kita merusak alam, kita memutus relasi dan komunikasi dengannya. Sehingga kita akan menghadapi problem dari keretakan hubungan tersebut saat ini dan di masa depan.
Relevansi dengan Kehidupan Kita Saat Ini
Komunikasi dengan Tuhan tidak hanya melulu berbicara. Selain kita berbicara dengan-Nya, kita juga diajak untuk mendengarkan-Nya. Jika kita berbicara kepada Tuhan, maka Dia pasti mendengarkan kita. Sebaliknya, kita juga mesti mendengarkan ajaran Tuhan dan mengaplikasikannya. Menata alam sebenarnya salah satu bentuk aplikasi melaksanakan ajaran Tuhan.
Komunikasi dengan sesama menjadi sangat penting, karena kita berada bersama untuk saling berkomunikasi. Komunikasi itu mesti dibangun secara timbal-balik, bukan hanya satu arah (monolog) melainkan dua arah (dialogis). Dengan berkomunikasi, kita saling memahami satu dengan yang lain dan mengerti bahwa kebermaknaan dan keberartian kita, hanya ada ketika kita berada bersama orang lain dalam suasana yang komunikatif.
Miskomunikasi tidak boleh didiamkan apalagi dinafikan (ditolak). Sebab, ketika kita mendiamkan sebuah miskomunikasi, maka tinggal menunggu bom waktu. Sebab akan memicu keretakan hubungan antara satu dengan yang lain. Lagi-lagi komunikasi menjadi media juga instrumen penting dan mendesak.
Komunikasi dengan diri sendiri, menjadi suatu yang sulit ketika kita tidak memberi ruang pada waktu hening (silentium magnum, ketenangan/keheningan total) untuk merefleksikan seluruh penjalanan hidup pribadi dan bersama dengan niat, tekad juang untuk menata hidup yang lebih berkualitas dan bermutu. Komumikasi dengan diri sendiri ibarat kita memasukkan diri dengan segala kekurangan dan keterbatasan untuk selajutnya disepuh (refleksi) dan discerment (penegasan) akan kelalaian yang dilakukan. Agar pada waktunya kita boleh keluar sebagai pemenang. Menurut Aristoteles, hidup yang tidak direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas untuk dihidupi.
Komunikasi dengan alam mengandaikan kita hadir dan berbicara dengan bahasa verbal (kata-kata) maupun non verbal (sentuhan fisik), dengan menata alam sembari berkata-kata dengannya seperti yang penulis lakukan dalam kisah di atas. Pohon itu bisa mati kekeringan karena tidak ada kandungan humus tanah, tidak ada air yang mengairi atau menyiramnya tetapi juga tidak ada jalinan dialog baik verbal maupun sentuhan fisik.
Dalam alam, batu, air, kayu dan tanah tidak semata-mata kita melihatnya sebagai benda atau unsur tanpa roh dan jiwa. Akan tetapi dengan berkomunikasi dengannya (batu, air, kayu dan tanah) secara tidak langsung kita memberi roh padanya, sekaligus memanusiakannya sehingga unsur-unsur ini mengandung kekuatan. Kekuatan itulah roh dan jiwanya.
Belajar dari rumah di masa pandemi Covid-19, awalnya mendapatkan respon yang positif. Namun akhir-akhir ini menuai kritik yang luar biasa bahkan mulai terindikasi mengandung penilaian negatif. Misalnya, guru dinilai kurang berkualitas karena kurang memahami siswa secara holistik dan masih parsial. Hal itu terbukti melalui pemberian tugas yang kerap melampaui kemampuan para siswa. Pendampingan orang tua di rumah pun terkesan topdown (komando, instruksi) dari atasan kepada bawahan, bukan rekan pembelajar sehingga anak-anak menjadi tertekan bahkan stres.
Sudah saatnya kita jadikan kebersamaan menjadi ruang yang komunikatif dan dialogis. Mengisolasi diri dengan ‘stay at home’, berdiam/tinggal di rumah adalah sebuah keharusan guna memutus mata rantai Covid-19. Akan tetapi, tinggal di rumah bukan menghilangkan atau meniadakan komunikasi.
Guru dan siswa, juga orang tua, dapat berkomunikasi melalui media sosial seperti Facebook atau WhatsApp yang lebih mudah diakses saat ini. Jika tidak, maka guru bisa meluangkan waktu melakukan kunjungan ke rumah siswa. Jika hal itu tidak dilakukan, maka media daring (dalam jaringan) atau online adalah solusinya. Namun yang terpenting adalah terbangunnya komunikasi verbal maupun non verbal. Jangan sampai kebersamaan yang kita jalin minim komunikasi bahkan kehilangan roh dialogis. (*)
Penulis: Albertus Muda, S.Ag