
WPdotCOM — Saat menghadapi era disrupsi ini, banyak hal yang menjadi masalah dalam jaringan kehidupan, khususnya bidang pendidikan. Masalah yang paling merisaukan kita adalah masalah Sumber Daya Manusia (SDM).
Hal ini penulis singgung, karena masalah kualitas sumber daya, yang merisaukan manusia adalah masalah kita, terutama maslaah para guru dan atau dosen. Sebab, para guru dan atau dosen merupakan pendidik dan pengajar, yang secara subsistem dari sistem pendidikan adalah elemen yang bertanggung jawab untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Para guru dan atau dosen menghadapi masalah yang cukup serius, yakni produktivitas dan efisiensi tenaga kerja bangsa kita paling rendah dibandingkan dengan negara-negara sahabat. Selain karena upah yang paling minimum, ternyata juga kualitas sumber daya manusia bangsa kita sangat belum memadai. Mungkin juga mental bangsa kita masih tertinggal. Artinya, orientasi dan pola pikir maupun persepsi atau wawasan, bangsa ini yang belum mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal inilah yang memprihatinkan. Sebab, jika kondisi ini tidak cepat disadari dan diantisipasi, bisa-bisa di tahun-tahun mendatang yang menghadirkan pola kehidupan yang semakin dinamis, bangsa kita akan ‘kelelap’ dalam globalisasi, karena kita tidak dapat bersaing.
Kita sering mendengar bahwa alasan utama menyebabkan bangsa kita masih ketinggalan adalah karena kita pernah dijajah oleh Belanda dalam waktu yang sangat lama. Padahal jika dipikir-pikir, kita sudah merdeka 75 tahun, alasan pernah dijajah itu tentu tidak tepat lagi. Beberapa tokoh mengatakan bahwa sangat sulit mencari sumber daya manusia yang relevan. Padahal, di negara kita terdapat ribuan sarjana yang menganggur, belum terhitung yang tamatan SD, SLTP, dan SMA sederajat. Mereka tidak dapat mendapatkan pekerjaan akan tetapi mereka juga tidak bisa berwirausaha. Karena itu, apanya yang salah? Mereka sudah bersusah payah memasuki dunia pendidikan dan belajar, kemudian lulus, akan tetapi masih saja kesulitan dan susah.
Inilah suatu dilema. Di satu pihak kita kekurangan sumber daya manusia, di pihak lain sarjana yang menganggur cukup banyak. Kondisi sumber daya kita sekarang ini banyak yang menyalahkan tentang sistem pendidikan selama ini.
Mungkinkah karena sistem pendidikan kita yang belum “link and match”, artinya sumber daya manusia yang dihasilkan itu tidak sesuai dengan kebutuhan pembangunan atau tidak sesuai dengan kebutuhan pasar? Kalau demikian halnya, kurikulum dari pendidikan tersebut harus dievaluasi oleh orang-orang berkompoten dengan pendidikan dan berwawasan jauh ke depan.
Barangkali ada baiknya kita telaah hal ini. Terutama kita, para guru dan atau dosen yang bertugas pada lembaga pendidikan formal. Di mana generasi penerus pembangunan bangsa jauh lebih banyak yang dididik di lembaga pendidikan swasta dibanding dengan yang ada di lembaga pendidikan negeri. Mari kita merenungkan, karena guru dan atau dosen itu sendiri adalah subsistem yang paling strategis dalam dunia pendidikan.
Apakah sebagai pengajar sudah menjalankan tugas yang kita emban sebagai pendidik ataukah hanya sebagai pengajar saja? Apakah kita, seorang guru dan atau dosen yang dinamis, mengikuti perkembangan zaman, dan yang dapat membaca tanda-tanda zaman? Apakah kita selalu memberikan materi yang mutakhir dengan metode proses belajar-mengajar yang sesuai? Kalau belum demikian, apa sebabnya?
Karena untuk menjadi seorang guru dan atau dosen, kita harus mempunyai motivasi. Sebab, guru dan atau dosen itu mudah ‘rusak’, kalau guru dan atau dosen tidak ada motivasi, dia tidak berfungsi lagi sebagai guru dan atau dosen. Dia hanya akan menjadi seorang pengajar saja tanpa mempertimbangkan apakah materi maupun metodenya sesuai atau tidak.
Untuk menjadikan guru dan atau dosen, investasinya mahal dan butuh waktu yang sangat lama. Dia harus banyak membaca, meneliti, menulis, disekolahkan, ikut seminar, pelatihan, dan segala macam bentuk kegiatan ilmiah yang dapat meningkatkan kompetensi.
Penulis: Bernardus Tube Beding (Pegiat Literasi dan Pendidik di Prodi PBSI UNIKA Santu Paulus Ruteng)