WARTA PENDIDIKAN – Namaku Markus Maluku. Lahir pada 11 Maret 1975 di kampung kecil Tagawiti, Kecamatan Ile Ape, Kabupaten Lembata, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Putra pertama dari empat bersaudara, dari pasangan Thomas Tiro (almarhum) dan Lusia Welin.
Kami semua diberi nama pulau-pulau tempat di mana ayah pernah mencari nafkah untuk menghidupi kami. Tiga saudaraku yang lain diberi nama: Irian, Kalimantan dan Sulawesi. Dalam hal ini saya sangat yakin, ayah sangat mencintai Indonesia. Meski terakhir beliau menyudahi perantauannya di Malaysia, tetapi tak seorangpun dari kami diberi nama Malaysia atau salah satu tempat di sana.
Menyelesaikan pendidikan dasar di SD Inpres Holoriang pada tahun 1988 dan melanjutkan ke SMP Negeri Ile Ape sampai tamat pada tahun 1991. Kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA di Seminari San Dominggo Hokeng-Larantuka, sebuah lembaga pendidikan yang menyiapkan para calon Pastor dalam gereja Katolik.
Setelah menamatkan SMA pada tahun 1995, melanjutkan ke Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero di Maumere Flores sampai tamat pada tahun 2001, dengan judul Skripsi “Religiusitas Otentik Menurut Perspektif YB. Mangunwijaya, Sebuah Kritik Terhadap Formalisme Agama”.
Kini sudah dua puluh tahun berlalu namun isu tentang formalisme agama selalu menjadi isu yang aktual. Negara kita sering terbelah karena isu perbedaan agama, atau lebih miris lagi ketika para politisi secara terang benderang memperalat agama sebagai kendaraan politiknya untuk meraih kekuasaan, tanpa menghiraukan perpecahan yang terjadi pada arus bawah.
Pada tahun 2009 melanjutkan S2 di Universitas Mulawarman Samarinda sampai 2011 dengan judul tesis “Analisis Kepemimpinan Kepala Sekolah SMA Katolik Henricus Leven Malinau dalam Mengembangkan Sekolah”.
Pada tahun 2005, saya menikah dengan Lusia Surat Ola dan telah dikaruniai tiga orang anak, yaitu Jiebril DS Rosario, Trinity Sanctissima, dan San Giovanni Paolo Tiro.
‘Ditangkap’ Menjadi Guru
Ketika menginjakan kaki di Malinau pada Juli 2001, Kabupaten yang bergelar Intimung ini baru berusia dua tahun. Sebagai sebuah kabupaten baru tentu saja mengalami banyak keterbatasan hampir di setiap dimensi kehidupannya, termasuk dalam dunia pendidikan.
Sebut saja, guru pada setiap tingkatan sekolah masih sangat terbatas. Maka seorang guru bisa dipaksa oleh keadaan untuk mengajar beberapa bidang studi supaya proses belajar bisa berlangsung pada satuan pendidikan itu.
Kehadiranku di Malinau pada awalnya hanya diminta menjadi pembina asrama Katolik Lahai Bula’an. Anggota asrama adalah putra-putri Malinau yang menimba pendidikan di sekolah-sekolah terdekat, baik SD, SMP maupun SMA. Karena di tempat asal mereka tidak ada sekolah jenjang SMP dan SMA, maka gereja Katolik bekerja sama dengan para orang tua untuk menitipkan anak-anaknya di asrama ini supaya mereka dapat mengenyam pendidikan formal. Selain itu mereka juga mendapat pendidikan informal dan non formal. Melalui penerapan aturan yang ketat, mereka dibentuk menjadi anak-anak yang disiplin, mandiri dan berkarakter.
Sebagai pembina asrama, saya mendapat uang saku Rp250,000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per bulan. Tentu saja cukup untuk kebutuhan sabun dan bensin. Namun, karena penghuni asrama adalah anak-anak dari keluarga sederhana, maka seringkali uang saku itu untuk memenuhi juga kebutuhan mereka yang darurat, seperti alat tulis, seragam, sabun atau obat-obatan.
Saya selalu menjadi tempat berkeluh kesah dan meminta bantuan, sehingga dengan uang saku yang terbatas itu terpaksa dibagi-bagi untuk mereka yang sangat membutuhkan. Menjadi pemimpin berarti menjadi orang yang siap berkorban. Ada keyakinan kuat bahwa memberi sampai tiada yang tersisa, akan kembali berlipat-lipat, meski bukan dalam bantuk yang sama.