Belanda — Momentum ramadan di Belanda dimanfaatkan juga oleh Tim Riset Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang untuk melihat outlook kehidupan beragama di negara Kincir Angin tersebut, melalui kegiatan buka bersama (iftar).
Ketua Tim Peneliti, Mohammad Mahpur, mengatakan, kesempatan itu datang saat pihaknya mendapat undangan buka bersama dari komunitas muslim Ihtida (perkumpulan mualaf yang berasal dan didukung oleh Masjid Ulu Camii, Utrecht) dan komunitas muslim Turki di Masjid Eyüp Sultan, Nijmegen.
Tim Riset UIN Malang saat itu hadir bersama Lotte, salah satu muslimah mualaf berkebangsaan Belanda, saat buka bersama komunitas muslim Ihtida. Mohammad Mahpur menuturkan bahwa kegiatan buka bersama ini diawali dengan pemaparan tentang Islam oleh salah seorang peserta tentang proses perjalanan dirinya menjadi muallaf, termasuk fase krisis identitas setelah menjadi muallaf.
Buka bersama dengan Komunitas Turki di Masjid Eyüp Sultan, Nijmegen, lanjut Mahpur, dilakukan lebih terbuka, tidak hanya dihadiri muslim, tetapi juga sejumlah non-muslim untuk bergabung, baik untuk makan maupun hanya ingin mendapatkan pengalaman dan pengetahuan tentang ramadan dan aktifitas ibadah muslim lainnya.
Menurut Mahpur, berdasarkan keterangan salah satu aktivis masjid, mereka merasa hidup nyaman menjadi Muslim di Belanda meskipun sebagai kelompok minoritas. “Kalaupun terdapat insiden-insiden yang dialami oleh muslim, tetapi tidak begitu berdampak pada kehidupan Muslim di Belanda, khususnya di Nijmegen,” katanya, Rabu pekan lalu.
Martjin de Koning, seorang Antropolog pada Department of Islam Studies, Radboud university menyebut bahwa muslim adalah kelompok minoritas di Belanda seperti pemeluk agama lainnya. Sementara kelompok mayoritas di negeri ini adalah orang-orang yang tidak berafiliasi pada agama apapun.
Koning berpendapat bahwa negara memberikan pengakuan yang sama pada kelompok minoritas. “Belanda secara konstitusi, bukanlah negara yang sekuler, karena konstitusi menyebutkan bahwa tidak ada pemisahan antara agama dan negara serta adanya pengakuan kesetaraan agama-agama yang ada,” terang Devi Pramitha, M.Pd.I, Anggota Peneliti yang juga Sekretaris Program Studi S1 Manajemen Pendidikan Islam.
“Kalaupun terdapat insiden yang mengarah pada radikalisme, diskriminasi, atau bahkan kecurigaan pada agama tertentu, hal itu lebih disebabkan oleh fenomena global yang terjadi di berbagai tempat di belahan dunia,” terang Koning.
Koning menambahkan, ketakutan masyarakat non-Muslim Belanda pada kegiatan-kegiatan masal yang diadakan masyarakat Muslim, kadangkala mengakibatkan tindakan masif yang mengarah pada keributan, walau tidak selalu terjadi.
“Peran perguruan tinggi menjadi penting untuk berkontribusi pada diseminasi nilai-nilai kewarganegaraan yang baik. Kampus menjadi tempat penanaman nilai-nilai “good citizenship” yang mengakomodir semua nilai yang terkandung dalam moderasi beragama seperti respect, humanity, inclusion, and freedom of expression in the framework of state law,” terang Koning.
Jamilah, M.A anggota peneliti yang juga Sekretaris Program Studi S3 Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner, menegaskan bagi para Dosen di Radboud University, nilai “good citizenship” merupakan sebuah mandatory dari kebijakan yang diatur dalam “code of conducts” dalam membangun “social safety” (kemanan sosial) bagi seluruh warga kampus.
Tim Riset Dosen UIN Malang terdiri dari Dr. Mohammad Mahpur, M.Si (Ketua Program Studi S2 Magister Psikologi), Jamilah, MA (Sekretaris Program Studi S3 Pendidikan Agama Islam-Berbasis Studi Interdisipliner), Devi Pramitha, M.Pd.I (Sekretaris Program Studi S1 Manajemen Pendidikan Islam) dan Alitha Natriezia, SE (Humas UIN Malang).