JAKARTA – Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih menyayangkan masalah Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dengan sistem zonasi terus berulang setiap tahun.
“Kita terus jatuh di lubang yang sama berulang kali, diskusi (soal PPDB) tidak pernah berubah,” keluhnya saat Rapat Dengar Pendapat Komisi X dengan jajaran eselon satu Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi RI di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa (9/7/2024) lalu.
Fikri menyatakan, alih-alih pemerintah menciptakan pemerataan pendidikan yang lebih berkeadilan, persoalan PPDB malah menimbulkan sarang masalah setiap tahunnya. Menurutnya, kenapa masyarakat berebut sekolah favorit karena dua alasan. Pertama, kualitas SDM (guru dan tenaga kependidikan); dan kedua, fasilitas dan sarana prasarana sekolah.
“Yang jadi masalah, kami belum melihat upaya pemerataan kualitas guru, misalnya guru terbaik disebar ke berbagai sekolah,” ungkapnya.
Selain itu, jumlah sekolah yang unggul secara sarana dan prasarananya juga terbatas, sehingga daya tampung muridnya juga sangat sedikit dibanding kebutuhannya.
“Dulu (2016) ada program unit sekolah baru, sekarang sudah tidak ada lagi di Kemendikbudristek. Kapan bisa terkejar kuota daya tampung murid baru?” tanyanya.
Lanjutnya, sejak 7 tahun terakhir pelaksanaan PPDB sistem zonasi selalu berakhir dengan banyak masalah yang terungkap di komisi X DPR, membuktikan adanya kegagalan sistem.
“Kalau ga efektif ya diubah (sistemnya), berarti kita tidak mampu untuk meniadakan sekolah favorit,” tegas Politisi Fraksi PKS itu.
Seperti diketahui sebelumnya, tujuan awal pemerintah mencetus PPDB berbasis zonasi adalah untuk meniadakan sekolah favorit atau istilah kasta dalam sistem Pendidikan, sehingga harapannya tercipta kualitas Pendidikan yang merata.
Ia menegaskan, tujuan tersebut tidak selalu bisa dipaksakan karena berarti selalu ada sekolah favorit, sebagaimana Kemendikbudristek meluncurkan SMK pusat keunggulan.
“Jangan-jangan malah SMK pusat keunggulan adalah sekolah favorit,” tutup Legislator dapil Jawa Tengah IX itu.(dpr)