
Senja telah beranjak meninggalkan cahaya merah di belahan barat. Mentari telah kembali ke peraduannya. Kelam mulai menyelimuti bumi. Suara binatang malam terdengar sesekali bersahutan. Awan hitam yang menggantung di langit pun kian pekat.
Zayn masih terdiam. Pena di tangannya masih tergeletak di atas selembar kertas. Baru beberapa kalimat saja yang ia tuliskan di sana. Entah karena firasat apa, ia ingin menuliskan surat untuk Kyara. Surat itu sengaja ia tuliskan sendiri, tidak diketik.
“Semoga suatu saat nanti kau membaca surat ini. Entah di saat itu aku tidak lagi ada bersamamu. Dan, kau akan tahu, betapa cinta yang kurasakan begitu sungguh-sungguh. Tapi sayang, semua ada di saat yang tidak tepat.”
Zain bergumam sendiri. Sesekali ditekannya perutnya dengan kepalan tangan kiri. Terdengar gumaman di bibirnya mengucapkan “Allahu Akbar.” Rasa sakit di perutnya itu telah berbulan-bulan ia rasakan. Namun sejak satu bulan terakhir, Gerd yang ia derita semakin parah. Saat kambuh, nafasnya tersengal dan pendek. Seperti orang tengah menghadapi sakaratul maut.
Ponsel yang terletak di sebelah lembaran kertas itu, kini berdering. Deringnya khas, pesan dari Kyara.
Zayn meraih ponselnya. Duduknya ia tegakkan. “Sayang, udah makan?” begitu pesan dari Kyara tertulis di layar ponsel Zayn.
Ada senyum mengembang di wajah Zayn. Senyum yang tak seperti biasanya. Senyum bercampur kesedihan. Tak biasanya Kyara memanggilnya begitu.
“Alhamdulillah, udah selesai, Sayang,” balas Zayn. Pesan itu terkirim tapi belum dibaca Kyara. Zayn pun kembali meletakkan ponselnya. Zain berbohong. Ia belum makan sama sekali. Tapi, ia tidak ingin Kyara kepikiran.
Sejak menderita Gerd itu, Zayn sering membohongi Kyara. Zayn yang sudah dua kali diopname di rumah sakit, pun tanpa sepengetahuan Kyara. Bagi Zayn, ia tidak pernah tega membiarkan Kyara bersedih melihat keadaan Zayn. Hubungan yang mereka lalui dengan segala pesoalan, bagi Zayn sudah cukup membebani Kyara. Ia tak ingin menambahnya lagi.
Zayn masih terus menuliskan surat untuk Kyara di lembaran kertas putih itu. “Bila suatu saat nanti, kau mendengar kematianku, ketahuilah sayang, aku pergi dengan bahagia. Aku telah mencukupkan seluruh cita-citaku di sini. Aku telah pulang ke kampung kita sesuai permintaan ibuku. Dan di sini, aku menemukan tempatku melabuhkan semua harapan. Harapan bahagia, harapan untuk hidup bersisian denganmu.”
Zayn menghentikan gerakan penanya. Rasa sakit di ulu hatinya kembali menyerang. Lebih sakit dibanding sebelumnya. Zayn terlihat meringis. Ada airmata mengalir di wajahnya. Rasa sakit itu telah meruntuhkan seorang pesilat pada titik terendah. Hanya gumaman takbir yang keluar dari mulut Zayn. Tubuhnya tertekuk. Ia biarkan saja ponselnya yang berdering.
Beberapa menit Zayn diam dalam posisi itu. Hanya erangan yang terdengar dari mulut anak muda yang hidup sendiri tanpa siapa-siapa di kampung halaman ibunya tersebut.
Zayn tersungkur ke lantai. Ia bersimpuh. Penyakit yang sudah demikian parah itu membuatnya hampir tidak sadar. Tapi kebiasaan Zayn menyebut asma Allah membuatnya lebih kuat.
“Allahuakbar…” gumaman Zayn semakin kencang. Pertanda rasa sakit itu dirasakannya begitu kuat. Nafasnya tersengal. Keringat deras mengalir di dahi Zayn.
Ia seperti orang sekarat. Sementara dari rumah tetangga sebelah, terdengar nyanyian. Lagu ciptaan Ahmad Baqi berjudul pusara kasih.
Sentana daku menutup mata
pintaku teman mohon sampaikan
Agar jasadku dibawa serta
pusara kasih mohon rangkaikan
Mohon siramkan setitik air
taburkan atasnya bunga rampai
Pahatkan nisan serangkum syair
keluh pujangga kasih tak sampai
Tubuh Zayn kaku. Tidak terdengar lagi suara dari mulutnya. Diam dan hening. Sementara ponsel Zayn kembali berdering. Di layarnya tertulis nama Kyara. (*)
(Cuplikan novel berjudul Rindu di Pelukan Badai)