Sebut Tradisi Kawin Tangkap di Sumba Tengah Bentuk Pelecehan Perempuan, Menteri PPPA: Polisi Akan Menindak

Berita Nasional43 Dilihat

WPdotCOM, Jakarta — Kasus kawin tangkap (kawin culik) di Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang viral beberapa hari terakhir di media sosial, sangat meresahkan masyarakat. Pemerintah menganggap bahwa tradisi yang sudah diwariskan secara turun temurun itu, tidak sejalan dengan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, khususnya terhadap perempuan dan anak.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Menteri PPPA) Bintang Puspayoga menegaskan, praktik kawin tangkap ini adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang mengatasnamakan sebuah budaya atau tradisi di masyarakat setempat.

“Budaya atau tradisi itu tidak statis tetapi dinamis. Dahulu, di Bali pernah berlaku praktik serupa seperti kawin tangkap di Sumba, namun karena tidak sesuai dengan norma dan perkembangan zaman, akhirnya praktik tersebut tergerus karena budaya tersebut tidak memberikan edukasi yang baik,” ujar Bintang

Lanjut Bintang lagi, kasus di Sumba ini adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. Jadi jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” tegas Bintang pada Rapat Koordinasi Virtual terkait Penanganan Masalah Kawin Paksa di Indonesia yang diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP).

Dalam rapat tersebut yang diikuti oleh sejumlah pakar dan akademisi dari Sumba dan Kupang, NTT, Bintang menjelaskan bahwa para aktivis perempuan di Sumba sudah memiliki data praktik kawin tangkap, sehingga pihak aparat kepolisian dimohon untuk dapat menindaklanjuti setiap laporan kasus kawin tangkap.

“Kami mohon kepada jajaran kepolisian di Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat untuk dapat membantu kami melindungi perempuan dan anak. Mari kita bersinergi bersama bagi kepentingan terbaik perempuan dan anak di Indonesia. Sebelumnya, kami sudah melakukan komitmen dengan Kapolda Metro Jaya untuk melindungi perempuan dan anak dari tindak kekerasan dan eksploitasi. Kami juga berharap sinergi bersama dengan jajaran kepolisian di Sumba, kementerian, lembaga terkait, serta lembaga swadaya masyarakat setempat dapat menjadi kekuatan bersama supaya praktik kawin tangkap yang merugikan ini tidak lagi terjadi, dan praktik serupa tidak terjadi di daerah lainnya,” ujarnya.

Senada dengan Bintang, Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani, menyatakan bahwa kawin tangkap tidak ada hubungannya dengan budaya, karena sebuah budaya pasti memiliki nilai dan unsur kemanusiaan.

“Praktik kawin tangkap yang dianggap sebagai budaya ini jelas mengabaikan nilai kemanusiaan dan merugikan harkat dan martabat manusia. Hal ini harus menjadi perhatian semua pihak termasuk jajaran kepolisian karena ini adalah persoalan serius. Jika selama ini tidak ada laporan atas praktik ini, saya khawatir jangan-jangan korban tidak mau dan tidak bisa melapor karena takut dengan ancaman kekerasan yang akan dihadapi. Untuk itu, butuh respon aktif dari kepolisian. Data sudah ada dari 4 (empat) wilayah ini (Sumba Tengah, Sumba Timur, Sumba Barat Daya, dan Sumba Barat), dan korban berusia antara 16-26 tahun. Kawan-kawan di kepolisian tidak usah ragu menyelesaikan kasus ini karena ini adalah tindakan kriminal kejahatan manusia,” ujar Jaleswari.

Para pakar dan akademisi yang hadir, meminta Kemen PPPA ikut mengawal dan bersikap tegas dalam menangani kasus ini, mengingat hampir tidak pernah ada penyelesaian secara hukum. Selama ini persoalan yang kerap terjadi adalah penyelesaian melalui mediasi antar keluarga korban dan pelaku. Para akademisi menilai kasus yang hanya berakhir pada tingkat mediasi yang belum tentu memberikan solusi bagi korban tidak bisa dibiarkan begitu saja. (SP)

Blibli.com
Blibli.com