
Jakarta – Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko menjelaskan tentang anggaran riset yang mengecil dari 2018 ke 2023.
Tri mengatakan, dari APBN, anggaran riset pada 2018 senilai Rp 26 triliun. Di tahun didirikannya BRIN pada 2019, anggaran riset menurun menjadi Rp 21 triliun. Tahun ini, total anggaran riset mencapai sekitar Rp 10 triliun.
“2019, saat semua sudah tahu ada integrasi dari kementerian, jadi Rp 21 triliun. 2020, Rp 18 triliunan. 2021, yang kita hitung, Rp 12 triliun. Kita mulai dari sini, ini total dari semua K/L (kementerian dan lembaga),” kata Tri di BRIN, Jakarta, Jumat (24/2) lalu dilansir detikedu.
“Tahun kemarin, (anggaran riset) kita ada di sekitar Rp 9,5 triliun. Total tahun ini sekitar Rp 10 triliun,” imbuhnya.
Tri mengatakan, di samping BRIN, anggaran riset kini diperuntukkan bagi Kemdikbudristek dan Kemenag yang menaungi perguruan tinggi.
“Yang masuk BRIN Rp 6,4 triliunan. Ditambah luncuran, jadi Rp 7 triliunan, misalnya pinjaman luar negeri tidak terserap. Anggaran riset Kemdikbursitek dan Kemenag, lalu ada dana abadi, yang dikelola di bawah BRIN,” tuturnya.
Tri mengatakan, tidak semua dana riset masuk ke BRIN sebagaimana arahan Presiden.
“Dari 2021, di berbagai kesempatan, Rp 26 triliun masuk BRIN, itu arahan Presiden, dengan melihat posisi 2018 bahwa dari K/L dialihkan langsung. Kenapa enggak terjadi? Dilihat dari posisi ini, dari Rp 26 triliun jadi Rp 12 triliun saat dibentuk April 2021. Kemudian, anggaran sekitar Rp 7 triliun juga di 2022. Dan tahun ini, tidak banyak berubah dari anggaran di 5 entitas yang diakumulasikan ke BRIN. Kita kini di level Rp 6,5 triliun – Rp 7 triliun,” katanya.
Tri menjelaskan, anggaran riset Rp 26 triliun tidak lagi masuk BRIN salah satunya karena pencapaian persentase anggaran bukan tujuan.
“Fokus kita itu output, produktivitas riset, bukan untuk dapat anggaran gede. Itu dulu ditekankan. Fokus pada target output, meskipun SDM dan anggaran penting untuk output, tetapi bukan tujuan,” katanya.