WPdotCOM — Pendidikan di Indonesia berada di persimpangan jalan. Hal tersebut terjadi antara sekolah yang sudah melaksanakan program lima hari kerja dan belum menerapkan.
Sekolah yang sudah melaksanakan program ini, percaya diri sebagai sekolah yang selalu mendukung program pemerintah. Kepala sekolah merasa bangga karena mampu melaksanakan apa yang dinginkan pemerintah , dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sebagai kepala sekolah harus tunduk pada kebijakan pejabat atasannya.
Pada pelaksanaannya, menimbulkan banyak dampak pengiring. Salah satu diantaranya, lembaga pendidikan non-formal yang menyelenggarakan pendidikannya sore hari ada siswanya berhenti karena sudah lelah.
Orang tua disibukkan dengan mengirim bekal bagi putra-putrinya setiap hari. Sementara guru banyak mengeluh tidak bisa istirahat, harus memberikan tambahan pelajaran bagi siswa yang tidak mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Ini wajar, maklum masih taraf beradaptasi. Parahnya setiap Sabtu, kadang kala guru masih disuruh masuk untuk mengikuti rapat dan kegiatan lain seperti KKG.
Sekolah yang belum menyelenggarakan Lima Hari Sekolah, merasa belum mampu kalau harus menambah jam mengajarnya. Mereka diliputi rasa khawatir datangnya dampak negatif setelah diterapkannya program tersebut. Tidak jarang mereka beranggapan kalau menambah jam mengajar, tentu akan melelahkan yang berarti menambah pekerjaan. Di samping itu akan ada penambahan biaya makan siang yang harus disediakan sendiri. Terutama bagi guru perempuan yang mempunyai tugas mengatur rumah tangga, dapat dibayangkan bagaimana kalau harus pulang pukul 15.00 tentunya sampai di rumah sudah kehabisan tenaga.
Bagaimana solusinya mengurangi dampak negatif penerapan program yang nampaknya bagus ini. Semua pihak yang terlibat harus duduk bersama bermusyawarah memecahkan kesulitan bersama. Mulai pihak sekolah orang tua, dan tokoh masyarakat supaya ada titik temu. Sehingga persoalan bisa segera diatasi.
Penulis: Ma’shum Basri (Guru SDN Ciptomulyo 1 Kota Malang)