WARTA PENDIDIKAN – TikTok, platform berbasis video pendek yang diluncurkan oleh ByteDance pada tahun 2016, kini menjadi salah satu aplikasi media sosial paling populer di dunia.
Berdasarkan laporan DataReportal (2025), TikTok memiliki lebih dari 1,7 miliar pengguna aktif bulanan, dengan mayoritas pengguna berasal dari generasi Z dan milenial. Fenomena ini tidak hanya menunjukkan perkembangan teknologi komunikasi, tetapi juga mencerminkan perubahan pola interaksi sosial, budaya populer, serta konstruksi identitas individu di ruang digital.
Kehadiran aplikasi TikTok, memungkinkan komunikasi lintas budaya melalui format video pendek yang mudah diproduksi dan dikonsumsi. Tidak seperti media sosial berbasis teks, TikTok mengutamakan ekspresi visual dan audio, yang mempercepat penyebaran tren dan meme global.
Selain itu, penggunaan TikTok sebagai media untuk membangun identitas personal, mengekspresikan diri, dan mencari validasi sosial. Fitur seperti For You Page (FYP) mendorong konten viral, sehingga memengaruhi cara individu mengelola citra diri (self-image)
Tak tanggung-tanggung, TikTok juga memunculkan gelombang baru kreator digital dan influencer mikro, yang sering kali lebih berpengaruh dibandingkan selebritas tradisional. Fenomena ini mengubah banyak hal, termasuk cara perusahaan memasarkan produk, dengan memanfaatkan konten organik dan autentik untuk menarik perhatian konsumen.
Budaya Tantangan (Challenge Culture), juga menjadi sesuatu yang menarik dengan kehadiran platform TikTok. Tantangan viral seperti tarian, tren hashtag, atau social campaign, menjadi bagian dari budaya TikTok. Fenomena ini membentuk partisipasi massal, namun juga dapat menimbulkan risiko seperti perilaku berbahaya atau penyebaran informasi salah.
Prof. Manuel Castells dalam teorinya tentang network society menyebutkan, platform digital seperti TikTok membentuk ruang publik baru yang mempertemukan budaya global dan lokal. Hal ini memungkinkan terciptanya “masyarakat jaringan” yang memengaruhi cara kita mengakses informasi dan membangun komunitas.
Fenomena TikTok membawa dampak sosial yang kompleks. Di satu sisi, aplikasi ini meningkatkan kreativitas, memperluas jejaring sosial, dan membuka peluang ekonomi. Di sisi lain, riset dari Anderson & Jiang (2023) menyebutkan, paparan berlebihan terhadap konten TikTok dapat memengaruhi kesehatan mental, terutama pada remaja, dengan meningkatkan risiko social comparison dan fear of missing out (FOMO).
Dr. Sherry Turkle dari MIT menjelaskan, media sosial seperti TikTok mencerminkan “performance culture”, di mana individu berperilaku seperti aktor yang menampilkan versi ideal diri untuk konsumsi publik. Fenomena ini dapat memperkuat koneksi sosial, namun juga meningkatkan tekanan psikologis.
Tingkat kebohongan dan munculnya citra diri yang tidak wajar, seringkali ditampilkan melalui filter wajah, flexing, dan segala bentuk penafian terhadap jatidiri yang sebenarnya. Konten-konten yang ditampilkan, diperkirakan nyaris palsu dan tidak selaras dengan fakta.
Sementara itu, Dr. Jean Twenge dalam bukunya iGen (2020) menyoroti penggunaan media sosial intensif berhubungan dengan peningkatan kecemasan dan depresi pada sejumlah pengguna, termasuk remaja. TikTok, dengan algoritma berbasis keterlibatan, dapat memperkuat dampak ini jika tidak disertai literasi digital yang memadai.
Kesimpulannya, TikTok bukan sekadar aplikasi hiburan, tetapi sebuah fenomena sosial yang mencerminkan perubahan besar dalam pola komunikasi, identitas, dan ekonomi digital. Meskipun TikTok memberikan peluang untuk kreativitas dan partisipasi sosial, dampak negatif seperti tekanan sosial, kecanduan, dan penyebaran informasi salah tetap menjadi tantangan.
Oleh karena itu, literasi digital, regulasi platform, serta pendidikan media menjadi penting agar fenomena ini dapat dimanfaatkan secara positif.
Penulis: Nova Indra (Dir. P3SDM Melati, Praktisi, Journalist, Writer)