WPdotCOM – Saya pernah dichat salah seorang teman. Kami bekerja di institusi yang berbeda. Dalam chattingan itu ia memohon agar saya bisa membantunya. Ia menyampaikan terus terang terkait kesulitan finansial yang menimpa keluarganya berhubung lembaga tempat ia bekerja belum memberinya gaji untuk beberapa bulan terakhir. Saya menjadi sangat dilematis, karena pada saat yang bersamaan uang yang tersisa di tangan saya hanya sebesar angka yang ia minta.
Saya langsung komunikasikan dengan istri terkait kesulitan yang dihadapi teman saya ini. Kami pun mencapai kata sepakat untuk membantunya meski dalam waktu bersamaan ada beberapa pos utang yang belum kami lunasi. Kami menyepakati tempat bertemu agar saya menyerahkan uang yang ia perlukan. Ia berkali-kali mengutarakan rasa terima kasih setelah saya menyerahkan apa yang dibutuhkannya.
Sementara itu, saya mengatakan bahwa kita memang selayaknya saling menolong selagi kita masih bisa melakukannya. “Hari ini mungkin teman menemui kesulitan, esok barangkali saya. Kita saling menolong untuk mengatasi kesulitan yang kita hadapi, selagi masih ada berkat yang kita terima,” kataku. Hati saya lega saat menyaksikan teman itu pergi dengan sebuah optimisme karena telah keluar dari persoalan yang melilitnya.
Banyak lembaga saat ini entah eksekutif, legislatif, yudikatif, lembaga pendidikan, bahkan lembaga keagamaan mengalami kemerosotan dalam manajemen tata kelola keuangan. Harapan saya agar lembaga tempat teman saya bekerja tidak mengalami hal serupa. Adanya kemerosotan kinerja manajemen tata kelola keuangan, bisa disebabkan oleh penyalahgunaan keuangan pihak yang berwenang atau karena pokok pendapatan yang hendak dicapai belum memenuhi target. Menurut pengakuannya, selama ini bahkan jauh sebelumnya ia selalu menerima upah rutin setiap bulannya.
Korelasi antara kerja dan kesejahteraan menjadi sangat erat. Rasul Paulus dalam suratnya kepada Jemaat di Tesalonika (lih. 2 Tes 3:10) mengatakan, jika seorang tidak mau bekerja janganlah ia makan. Pernyataan ini mau menegaskan bahwa kita tidak boleh lalai dalam bekerja, tidak makan porsi orang lain dengan percuma, melainkan berusaha dan berjerih lelah siang dan malam supaya tidak menjadi beban bagi orang lain.
Sementara itu, penginjil Lukas menegaskan, seorang pekerja patut mendapat upahnya (Luk 10:7). Upah merupakan konsekuensi yang mesti diperoleh seorang pekerja. Pertanyaannya, bagaimana dengan mereka yang bekerja tetapi sebagian porsinya diambil orang lain? Apakah kondisi yang dialami para pekerja dalam masa pandemi covid-19 ini dibiarkan demikian adanya dengan waktu pengupahan yang tidak pasti? Apakah seorang pekerja tidak diperbolehkan menyuarakan haknya selama kesejahteraannya belum dipenuhi dengan baik?
Apabila pekerjaan yang dikerjakan setiap orang memiliki martabat yang mulia, maka selayaknya pribadi yang bekerja pun semestinya diperlakukan secara bermartabat dan manusiawi pula bukan sebaliknya diabaikan apalagi terkesan ada penelantaran. Apa pun alasan, martabat manusia ada di atas segalanya. Barang (uang) tetaplah barang. Manusia tetaplah manusia karena ia sebagai pribadi sedangkan barang merupakan benda. Maka, manusia sebagai pribadi mestinya diorangkan bukannya dibendakan atau bahkan dianggap nihil keberadaannya. (*)
Penulis: Albertus Muda, S.Ag (Guru SMA Negeri 2 Nubatukan-Lewoleba-Lembata-NTT)