WPdotCOM – Berbahasa daerah dalam pembelajaran, menjadi dilema tersendiri bagi guru dan siswa. Antara tuntutan aturan formal dengan kebiasaan yang sudah mendarah daging.
Salah seorang siswa bertanya menggunakan bahasa daerah, dan mendapat teguran dari penulis sebagai guru. Ia pun mengulang pertanyaan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal tersebut justru dianggap lucu oleh siswa lain yang tidak terbiasa mendengar temannya berbahasa Indonesia.
Fenomena seperti ini mungkin tidak hanya terjadi di sekolah tempat penulis mengajar. Terjadi pula di sekolah lain di daerah ini, atau bahkan di daerah lain. Tentunya permasalahan berkaitan dengan penggunaaan bahasa daerahnya masing-masing.
Proses belajar-mengajar di sekolah bersifat formal. Sudah sepatutnya, proses ini disampaikan dengan menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Fenomena pemakaian bahasa daerah dalam proses pembelajaran, kadang memantik rasa kecewa. Terlebih, jika hal ini terjadi selama pembelajaran Bahasa Indonesia.
Pangkal masalah bermula dari bahasa ibu. Sebagai contoh, masyarakat bersuku Minangkabau, bahasa ibu anak didominasi bahasa Minang. Dengan kata lain, anak menggunakan bahasa Minang di rumah dan lingkungannya. Bahasa Minang juga menjadi bahasa pengantar bagi anak selama berinteraksi dengan teman, bahkan dengan guru di sekolah. Penggunaan bahasa daerah, sesungguhnya merupakan suatu hal yang harus dilestarikan. Tetapi jangan sampai hal ini membuat siswa lebih sering berbahasa daerah hingga mengalami kesulitan ketika berbahasa Indonesia.
Penggunaan bahasa daerah, bahkan menjalar sampai pada proses pembelajaran. Tidak sedikit guru yang menggunakan bahasa daerah dalam menyampaikan materi pelajaran. Secara otomatis, pembelajaran pun berjalan dengan berbahasa daerah. Hai itu tentunya mendorong siswa untuk semakin jauh dari bahasa Indonesia.
Ketika perbaikan disodorkan kepada mereka, permasalahan baru pun muncul. Siswa yang dengan sadar berusaha mengaplikasikan bahasa Indonesia dengan baik, justru mendapat ejekan dan banjir gelak tawa dari teman sejawat. Permasalahan semakin berkepanjangan, bak ombak yang datang tiada henti. Satu ombak berlalu, ombak lain menerjang. Guru sebagai mediator juga kurang memberi dorongan untuk mengajak siswa berbahasa Indonesia.
Berbagai permasalahan berujung pada satu titik. Titik di mana siswa mengalami kesulitan dalam menyampaikan pendapatnya menggunakan bahasa Indonesia. Selama proses pembelajaran, bahkan beberapa siswa mengaku malas bertanya, disebabkan mereka enggan mendapat cemooh dari teman. Permasalahan seperti ini tentunya harus segera diatasi sebelum mengakar hingga berimbas pada masalah-masalah yang lebih besar di kemudian hari.
Fenomena lain terkait hal ini juga ditemukan. Siswa dengan kemampuan perpaduan dua bahasa yang epik. Seolah, bahasa baru muncul, menjelma menjadi bahasa perantara di antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Beberapa anak menggunakan bahasa Indonesia dengan selingan beberapa kata daerah di dalamnya. Lucu memang mendengarnya, tetapi kelucuan tersebut tentunya tidak boleh diabaikan begitu saja. Perlu adanya obat yang mampu menyembuhkan raga yang terlanjur sakit. Perlu adanya pencegahan bagi raga yang belum terjangkit.
Apabila hal ini diabaikan, siswa akan semakin malas berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia semakin jauh dari siswa. Dapat dibayangkan bagaimana jika anak-anak negeri ini dibawa dalam forum berskala nasional, apa yang akan terjadi? Ketertinggalan menjadi keniscayaan.
Seperti sudah dibahas sebelumnya, beberapa penyebab melandasi kejadian ini. Berawal dari penggunaan bahasa ibu, berlanjut pada bahasa ibu yang lebih mendapat tempat di hati anak. Untuk mengatasi hal ini diperlukan dorongan dari seluruh guru, terlebih guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Guru dinilai sebagai mediator yang tepat untuk meningkatkan intensitas siswa dalam menggunakan bahasa Indonesia.
Melalui pembiasaan berbahasa Indonesia dalam proses belajar, diharapkan kemampuan siswa dalam bahasa Indonesia selalu mengalami peningkatan. Hingga pada akhirnya, butir ketiga pada sumpah pemuda tidak hanya menjadi kata-kata beku yang terabaikan.
Penulis: Dian Rica Luxielmi (Guru MTs Muhammadiyah Batusangkar)