Dosen dalam Dilema Sistemik

Berita Opini195 Dilihat

SECARA IDEAL, dosen adalah sosok ilmuwan yang mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat secara seimbang. Namun, realitas pendidikan tinggi di Indonesia berkata lain.

Fakta di lapangan, banyak dosen justru terjebak dalam rutinitas administratif dan beban mengajar yang berat, hingga peran mereka sebagai peneliti kian terpinggirkan. Di sinilah letak dilema yang memprihatinkan: sistem mendorong dosen menjadi pengajar massal, bukan ilmuwan pembaru.

Secara normatif, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 mewajibkan dosen menjalankan Tri Dharma. Namun dalam praktiknya, penelitian dan pengabdian sering kali tersisih oleh tekanan memenuhi beban SKS, laporan e-learning, dan tuntutan akreditasi. Data Kementerian Pendidikan (2022) menunjukkan, hanya 35 persen dosen yang secara aktif mempublikasikan riset dalam tiga tahun terakhir.

Lebih ironis lagi, sistem insentif dan penilaian kinerja dosen masih lebih menekankan pada volume mengajar dan administrasi, bukan kualitas riset. Dosen yang ingin serius meneliti, justru kerap kesulitan mendapatkan ruang dan dukungan, baik waktu maupun anggaran.

Ernest Boyer dalam Scholarship Reconsidered  (1990), menawarkan model yang menekankan, kontribusi dosen tidak harus terbatas pada penemuan teori baru, tetapi juga sebagai integrator, pengembang pedagogi, dan pelaksana pengabdian berbasis ilmu. Namun, pendekatan ini belum terinternalisasi dalam sistem pendidikan tinggi kita. Dominasi paradigma “publikasi demi akreditasi” telah mengaburkan nilai riset sebagai proses pencarian makna dan solusi.

Akibatnya, banyak dosen mengajar materi tekstual tanpa aktualisasi dari riset mutakhir. Ini menghambat lahirnya kultur berpikir kritis di kalangan mahasiswa. Tanpa penelitian, pengajaran hanya menjadi transmisi pengetahuan, bukan transformasi cara berpikir.

Di sisi lain, beban dosen Indonesia masih berat: 12–16 SKS per semester adalah standar umum, jauh di atas beban dosen di negara-negara dengan universitas riset yang kuat. Di Amerika Serikat, Eropa, hingga Jepang, beban mengajar akademisi di universitas riset hanya sekitar 6–8 SKS, agar mereka dapat fokus meneliti.

Dari sisi anggaran, situasinya juga belum menggembirakan. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD  pada 2021 mencatat, dana riset Indonesia hanya 0,3 persen dari PDB, sangat rendah dibanding Malaysia (1,4 persen) dan Singapura (2,2 persen). Akibatnya, dosen yang ingin meneliti harus bersaing ketat memperebutkan hibah yang terbatas atau mengandalkan kemitraan eksternal yang tidak selalu relevan dengan bidang ilmunya.

Situasi ini tidak bisa terus dibiarkan. Jika ingin membangun kampus sebagai pusat pengembangan ilmu dan solusi bangsa, maka reformasi sistemik perlu dilakukan. Pertama, revisi beban kerja dosen agar ada ruang nyata untuk riset. Kedua, insentif kenaikan jabatan dan tunjangan harus berbasis produktivitas ilmiah, bukan hanya administrasi. Ketiga, perluasan dana riset serta mekanisme kemitraan riset dengan industri dan masyarakat. Keempat, pelatihan berkelanjutan dalam metodologi riset dan penulisan jurnal harus digalakkan.

Renungan: Albert Einstein pernah menyatakan, “The value of a college education is not the learning of many facts, but the training of the mind to think.” Tanpa riset, pendidikan tinggi kehilangan daya reflektif dan inovatifnya. Dosen bukan sekadar pengajar SKS, melainkan garda depan peradaban ilmu. Jika sistem tak segera diubah, kita berisiko melahirkan kampus-kampus yang sibuk mengajar, tetapi miskin gagasan baru. (*)

Penulis: Dr. Charles (Dosen UIN Bukittinggi)

Blibli.com
Blibli.com