Di asrama inilah saya sering memberi bimbingan belajar Bahasa Inggris untuk penghuni asrama yang SD dan SMP. Informasi bimbingan itu sampai juga ke SMPN 1 Malinau Kota, yang pada waktu itu dikepalai oleh almarhum Eko Harjianto, S.Pd., M.Pd. Beliau adalah guru Bahasa Inggris di sekolah tersebut, tetapi karena diberi tugas sebagai kepala sekolah sehingga ia harus mencari guru pengganti.
Suatu siang, telepon pastoran Katolik Tanjung Belimbing berdering. Suara di ujung telepon itu menyapa dan memperkenalkan dirinya sebagai ibu Yultje Dien, S.Pd. Ia ditugaskan kepala sekolah untuk mencari guru bahasa Inggris, sehingga ia berusaha menghubungiku.
Saya menjelaskan kepadanya bahwa saya memberi bimbingan kepada anak-anak asrama tetapi jurusan saya sebenarnya bukan bahasa Inggris. Bahkan bukan berlatar belakang ilmu keguruan dan pendidikan. Namun, karena sekolah sangat membutuhkan dan di lain pihak sangat sulit menemukan guru bahasa Inggris ketika itu, sehingga saya dimohon untuk menjumpai kepala sekolah keesokan harinya.
Tergerak oleh sebuah obsesi bahwa anak-anak adalah generasi penerus yang butuh bimbingan dan panutan dalam belajar, sehingga mendesak saya untuk menemui Bapak Eko Harjianto, S.Pd., M.Pd. Beliau menanyakan latar belakang pendidikan dan saya meyakinkan dia bahwa latar belakang pendidikanku adalah Filsafat. Jika bapak mempercayakan saya untuk mendampingi para siswa ini menggumuli Bahasa Inggris, maka saya bersedia membantu sambil bapak berpikir untuk mencari guru yang berlatar belakang pendidikan Bahasa Inggris.
Di sinilah momentum ‘ditangkap’ menjadi seorang guru Bahasa Inggris dimulai. Berbekal sedikit pengetahuan structure dan vocabulary, saya mulai melaksanakan tugas pelayanan sebagai seorang guru Bahasa Inggris di SMPN 1 Malinau Kota sejak Juli 2003. Para siswa untuk setiap tingkatannya, terdiri dari empat kelas paralel, sehingga saya harus mengajar sampai 36 jam per minggu untuk semua kelas tersebut sampai pertengahan Juli 2004.
Di tengah spirit sebagai seorang anak muda yang idealis kala itu, jumlah jam per minggu sebanyak itu diterima dengan senang hati. Ada kegembiraan yang lahir dalam ruang-ruang kelas karena para siswa juga senang menerima kehadiranku sebagai guru dadakan yang boleh dikatakan sebagai ‘tiada rotan, akar pun berguna’.
Menyadari kualitas diri hanya sebatas akar, telah memotivasi saya untuk sungguh-sungguh menyiapkan diri serta merancang suasana pembelajaran yang menyenangkan sehingga para siswa merasa bahwa mereka adalah bagian penting dari proses pembelajaran. Guru dan siswa adalah subjek-subjek pembelajar yang harus terbuka untuk saling melengkapi. Bukan saja terkait mata pelajaran yang sedang dipelajari tetapi jauh melampaui hal itu. Keduanya, guru dan siswa adalah rekan dalam memberi diri sebagai sumber belajar. Hal ini menyangkut kekayaan pribadi setiap orang dalam kelas dengan sejuta bakat dan kepribadiannya, yang bisa menjadi sumber belajar bagi setiap orang.
Dalam filsafat hal ini dikenal dengan dialektika. Belajar berarti guru dan siswa saling melengkapi. Guru bukan superman yang tahu segalanya, dan siswa bukan objek kosong yang harus diisi ruang pengetahuannya sampai meluap. Pendidikan dialektis membuka ruang bagi kegembiraan otentik di ruang-ruang kelas, sehingga terbentuklah spirit belajar dan saling melengkapi. Karena guru dan siswa adalah setara.
Ketika “dibajak” untuk menjadi ‘rotan pengganti’, saya tidak memiliki waktu yang cukup untuk menyiapkan peralatan seperti tas, seragam guru dan sepatu kerja. Apalagi, di tempat tugas sebelumnya pendapatanku hanya Rp250.000, tentu saja tidak cukup untuk sebuah tas, seragam atau sepatu kulit yang mahal.