Belajar dari keluguan para siswa
Selma. Gadis belia ini berasal dari Long Adiu. Penampilannya terlihat lusuh dan tatapan matanya memberi indikasi bahwa ada persoalan serius yang sedang ia hadapi. Terbaca dari raut wajahnya yang pucat dan lesu selama proses pembelajaran berlangsung.
Saya coba menghampiri dan menanyakan secara personal, agar tidak ada teman-temannya yang tahu. Akhirnya saya menemukan sebuah kenyataan yang mengagumkan. Ternyata sudah beberapa hari dia kehabisan bekal dan hanya minum air saja ketika turun ke sekolah. Dia dan beberapa temannya tinggal di Mes Kecamatan.
Tergerak oleh pengalaman akan keterbatasan yang pernah dialami, saya memberinya 100.000 rupiah. Ini tidak berarti apa-apa. Tetapi dari sini saya belajar bahwa pendekatan personal yang kita lakukan bisa menjadi senjata yang mampu menemukan jawaban atas persoalan yang kita hadapi. Saya juga belajar daya juang dari siswa lugu ini, bahwa kemauan belajar telah mendorongnya untuk datang ke sekolah meski dengan perut yang lapar. Pengalaman dialektis inilah selalu memperkaya guru dan siswa dalam belajar.
Natalia. Ketika membahas tema tentang keluarga dalam sebuah pembelajaran, gadis Maumere ini terlihat meneteskan air mata. Ia kemudian mengisahkan kepada saya dan teman-temannya bahwa ia mengalami perlakuan yang berbeda dari ayahnya. Dikisahkan bahwa ayahnya lebih suka memerhatikan ayam sabung dari pada menanyakan perkembangan studi mereka.
Setelah mendengar kisah itu, saya menjumpai ayahnya. Dalam nada berkelakar, saya mengatakan bahwa anak-anak juga merindukan belaian dan pelukan hangat dari ayah, karena itu berikan juga kepada mereka bukan hanya kepada ayam. Di sini saya juga belajar bahwa sebagai guru dan ayah, saya harus membangun kedekatan dengan putra putriku agar pengalaman Natalia tidak terjadi dalam diri mereka.
Risal. Siswa ini selalu datang terlambat ke sekolah. Di tengah tekanan guru piket dan aturan, kadang mereka menerima diri sebagai yang bersalah di depan penegakan sebuah aturan. Saya mencoba mendekati secara personal dan menemukan sebab di balik keterlambatan itu.
Diceritakan bahwa mereka ada 3 orang yang bersekolah dan di rumah hanya ada satu kendaraan. Maka sang ayah harus bergantian menghantar mereka, apalagi adiknya masih SD sehingga jalurnya sedikit berbeda. Itu yang menyebabkan dia selalu terlambat.
Dari kisah ini saya menemukan bahwa untuk bisa memahami suatu persoalan secara utuh, kita juga harus mendengar siswa menyampaikan secara apa adanya persoalan yang sedang mereka hadapi. Mulai saat itu, saya belajar untuk melihat sebuah persoalan secara utuh bukan secara parsial saja.
Hery. Siswa keturunan Tionghoa ini ketika belajar, tidak merasa betah di kelas. Selalu saja ada gerakan yang sepintas bisa dipandang sebagai mengacaukan proses belajar. Apalagi pelajaran bahasa Inggris. Maka saya berusaha menemui dia secara empat mata dan menanyakan kenapa ada gerakan yang selalu mengundang keributan di kelas. Dia mengungkapkan perasaannya bahwa memang dia lebih senang sebagai mekanik, sehingga merasa bahwa baginya tidak penting belajar bahasa Inggris.
Di sini saya menemukan kelemahan kurikulum kita secara nasional di tingkat SMP. Penyeragaman mata pelajaran untuk setiap siswa dan setiap satuan pendidikan justru mematikan bakat utama, yang semestinya dibuka kesempatan untuk ditekuni sejak dini. Kasus Hery mengingatkan saya bahwa multi kecerdasan dalam diri siswa harus mendapat perhatian pemerintah dalam membenahi kurikulum kita. Atau sekolah harus berinovasi menciptakan mata pelajaran pilihan untuk setiap siswa agar peluang mengeksplorasi kecerdasan mereka menjadi terbuka.