WARTA PENDIDIKAN – Hari Santri bukan sekadar peringatan seremonial dalam kalender bangsa, melainkan momentum reflektif yang menandai denyut nadi peradaban Islam Nusantara. Santri adalah wajah lembut dari keteguhan iman dan kecerdasan akal, yang tumbuh dari tradisi panjang pendidikan Islam di bumi Indonesia.
Bila di banyak tempat dunia santri diidentikkan dengan pesantren, maka di ranah Minangkabau, akar keilmuan itu telah bersemi jauh lebih lama berabad abad yang silam dalam tradisi basurau lembaga sosial-religius yang melahirkan insan berilmu, berakhlak, dan berjiwa merdeka. Basurau bukan hanya tempat mempelajari kitab-kitab turats al-‘Arabiy al-Islamiy, tetapi juga ruang pengasahan jiwa, tempat manusia menata batin agar tenteram dan damai.
Di sana, ilmu dan adab bersenyawa. Para santri diajar untuk memahami makna kehidupan, bukan sekadar menghafal teks, melainkan menafsir realitas dengan kebijaksanaan. Dalam ruang sederhana surau, kehidupan beragama berpadu dengan kearifan lokal, membentuk harmoni antara iman dan budaya. Itulah sebabnya, santri Minangkabau tidak hanya menjadi pelaku ritual, tetapi juga penjaga nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, santri hadir bukan di pinggiran, melainkan di jantung perjuangan. Dari medan tempur hingga meja parlemen, dari masjid hingga mimbar kebudayaan, para santri mewarnai perjalanan republik. Nama-nama besar seperti Buya Hamka, KH. Hasyim Asy’ari, dan banyak tokoh lain menjadi saksi bahwa keulamaan tidak menafikan keberanian, dan kesalehan tidak mengebiri daya juang. Santri adalah mata air moral yang menyejukkan bangsa di kala kering, sekaligus api yang menyala ketika bangsa membutuhkan cahaya.
Peringatan Hari Santri harus menjadi momentum introspeksi diri. Dalam derasnya arus globalisasi, santri ditantang untuk meneguhkan identitas dan memperdalam kompetensi. Modernitas menuntut keterbukaan berpikir, kemampuan adaptasi, serta daya kritis yang tinggi, tanpa harus kehilangan nilai-nilai spiritual yang menjadi pondasinya. Santri masa kini tidak cukup hanya menguasai ilmu agama, ia harus mampu membaca tanda-tanda zaman dan memberi jawaban yang mencerahkan bagi persoalan kemanusiaan.
Dalam konteks keilmuan, santri hendaknya tidak membatasi diri hanya pada satu sumber pengetahuan atau satu guru saja. Islam mengajarkan pentingnya ta’addud al-masadir keberagaman sumber ilmu agar pemahaman menjadi utuh dan tidak sempit. Belajar dari banyak guru, dari berbagai latar belakang pemikiran, akan membuka cakrawala berpikir yang luas dan mencegah fanatisme. Sebab, ilmu yang tumbuh dari banyak perspektif akan melahirkan hikmah, sedangkan ilmu yang hanya bersumber dari satu arah mudah terjebak pada klaim kebenaran tunggal.
Santri juga perlu menjadi pembaca yang tekun. Membuka lembar demi lembar buku bukan sekadar menambah pengetahuan, tetapi membangun empati dan kemampuan memahami perbedaan. Dalam dunia yang sarat dengan polarisasi, santri ideal adalah ia yang mampu melihat nilai baik di luar dirinya tanpa kehilangan prinsip agamanya. Dengan begitu, santri tidak menjadi hakim yang menghakimi, melainkan pelita yang menerangi perbedaan dengan kebijaksanaan.
Santri perlu membangun budaya literasi yang kuat. Membaca berbagai referensi, memahami pandangan lintas mazhab, dan mendialogkan nilai-nilai klasik dengan tantangan modern akan menjadikan santri tidak hanya membenarkan golongan sendiri. Ia mampu memandang perbedaan sebagai bagian dari rahmat. Dalam perspektif ini, santri menjadi penjaga keseimbangan sosial mampu menebar damai di tengah keragaman tanpa kehilangan prinsip keagamaannya.
Lebih jauh, santri dituntut untuk bersikap terbuka terhadap pembaruan sebuah sikap yang dalam bahasa ilmiah disebut inklusivitas epistemik. Keterbukaan ini bukan berarti menggadaikan prinsip agama, tetapi mengakui bahwa ilmu pengetahuan terus berkembang, dan umat Islam harus mengambil peran di dalamnya. Kemajuan dunia bukanlah ancaman bagi iman, melainkan peluang untuk menunjukkan bahwa cahaya Islam mampu menerangi kemajuan itu dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Pada akhirnya, santri adalah penjaga peradaban. Dari surau dan pesantren, mereka membawa lentera ke jalan-jalan kehidupan, mengajarkan bahwa ilmu tanpa akhlak akan kering, dan ibadah tanpa ilmu akan hampa. Di tangan santri, masa depan Islam tidak hanya akan dikenang sebagai warisan sejarah, tetapi akan terus hidup menyinari bumi, menebar damai, dan memuliakan manusia.
Penulis: Ferki Ahmad Marlion (Dosen Bahasa Arab IAIN Kerinci dan Ketua Umum Lembaga Alim Ulama Parambahan)


















