Agar Dialektika Tetap Terjaga

Berita Opini418 Dilihat

WPdotCOM – Dulu sebelum banyak hal menjadi spesialis, banyak hal bisa dilakukan orang. Saya masih ingat, awal 90-an saat booming Pesantren Kilat. Satu dua kali jadi peserta, kita sudah jadi panitia atau pengurus pesantren, Pesantren Kilat.

Satu dua kali menyelenggarakan Pesantren Kilat, kita sudah jadi mentor. Beberapa kali menjadi mentor, kita sudah jadi pemateri. Maklum, namanya juga Pesantren Kilat, isinya lebih banyak ke motivasi dari pada pendalaman keilmuan.

Jadilah sebenarnya kita adalah para motivator. Kalau sekarang sudah jadi profesi yang lebih profesional, banyak lembaga didirikan, lembaga trainning. Motivatornya disebut coach atau trainer. Dulu sebelum menjadi istilah Pesantren kilat, kegiatan itu bernama trainning centre.

Karena belum profesional, secara berkala kita para pemateri juga ikut TFT, Trainning For Trainner. Maka apa yang dilatih ketika TFT itulah yang kita lakukan ketika memberi materi pesantren kilat, terutama gamenya, yang sering menjadi intermezo bagi peserta. Baik pesertanya pelajar, mahasiswa maupun umum, tetap menarik dan menyegarkan.

Ada satu game yang sangat berkesan bagi saya. Peserta kita bawa untuk mengangkat kedua tangan lurus ke atas. Lalu sambil dikomandoi perlahan-lahan menurunkannya, kita di depan mencontohkan. Turun perlahan, semua mata ditarik memandang ke kita, Trainer. Ketika sampai ke dagu ucapkan dengan keras …”semua, letakkan telapak tangan di kening”. Hampir selalu peserta terjebak, meletakkan tangan di dagu, sekalipun perintahnya di kening. Sebab ternyata penglihatan lebih berpengaruh dari ucapan. Ketika kita meneriakkan ..”letakkan tangan di kening”, pada saat bersamaan kita sebagai Trainner meletakkan tangan di dagu.

Belum pernah seingat saya, game ini gagal saya mainkan. Tapi akhirnya, begitu cepat terperdaya begitu cepat pula peserta tersadar, ujungnya selalu  derai tawa segar membahana. Baik acara di ruang tertutup, maupun terbuka.

Dalam kehidupan nyata juga begitu, sehingga ada quote, “satu perbuatan lebih berarti dari seribu ucapan”. Tapi ingat, seperti game tadi, kita tidak berhenti pada keterkejutan sebuah tindakan, kita secara otomatis menelaah dan kembali pada kesadaran, kebenaran.

Itulah makanya kita bisa memaklumi jika dalam kondisi demontrasi, saat situasi memanas, riuh rendah, berhimpitan, dorong-dorongan, dari setiap sudut toa memberi agitasi. Maka sekalipun koordinator demo teriak …”siram”,  padahal yang dilihat orang menyalakan api, maka yang terjadi adalah pembakaran. Ketika kesadaran datang, kayu sudah menjadi arang. Inilah permainan psikologi massa.

Blibli.com
Blibli.com