Anak dan Urgensi Pendidikan Eksploratif

Berita Opini107 Dilihat

WPdotCOM – Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini, unik dan khas. Tak seorang pun persis sama dari semiliaran manusia yang ada. Berhadapan dengan perbedaan-perbedaan itu, dibutuhkan sikap arif memahami dan bijak menerima keunikan diri sendiri maupun orang lain.

Dibutuhkan ketersediaan waktu dan ruang (tempat) untuk memekarkan perbedaan-perbedaan tersebut. Perbedaan-perbedaan itu hendaknya diterima sebagai sebuah kenyataan yang saling melengkapi bukan sebuah batu sandungan atau kerikil tajam yang menghalangi ruang gerak dan tumbuh kembang pihak lain.

Orang tua di rumah dan guru di sekolah juga masyarakat pada umumnya mestinya semakin memahami bahwa anak-anak memang berlainan. Perbedaan-perbedaan itu, hendaknya diamati, dipelajari, dihargai dan sedapat mungkin dimekarkan menurut keunikan masing-masing.

Secara kodrati, setiap anak yang terlahir ke dunia, dianugerahi Tuhan indera penglihatan (dua mata), indera pendengaran (dua telinga), indera penciuman (hidung), indera pengecap (lidah), indera perasa (kulit), akal budi, kehendak bebas dan hati nurani. Semuanya dianugerahkan Tuhan sesuai dengan fungsi dan peranannya.

Urgensi Rasa Ingin Tahu

Anatole Frances, sastrawan Perancis mengatakan, rasa ingin tahu (curiousity) merupakan kebajikan terbesar (Herman J.P. Maryanto, 2011:64). Menurutnya, karena rasa ingin tahunya, anak-anak selalu bertanya kepada siapa saja, tentang apa saja yang belum diketahuinya tanpa ada rasa sungkan, malu atau minder.

Lebih lanjut menurut Frances, rasa ingin tahu merupakan kebutuhan dasar setiap anak untuk memahami eksistensi dunia sekitarnya. Rasa ingin tahu menjadi pintu masuk bagi anak-anak  ke dunia luar yang lebih luas. Rasa ingin tahu juga sebagai langkah awal bagi anak untuk membangun pemahaman dan pengetahuannya.

Sayangnya, potensi ini cenderung kurang bahkan tidak dihargai oleh orang dewasa pada umumnya. Ketika anak terus bertanya tentang banyak hal, guru dan orang tua kerap merasa gerah, terlebih jika pertanyaan itu tidak bisa dijawab. Marah menjadi solusi paling mudah dilakukan untuk membungkam niat anak agar tidak bertanya lebih lanjut.

Padahal menurut (alm) Romo Mangunwijaya (2004:94), guru dan orang tua mestinya jujur mengatakan bahwa jawaban langsung atas pertanyaan sulit yang diajukan anak belum bisa didapatkannya saat ini. Akan tetapi, jawaban akan pertanyaan sulit yang diajukan tersebut akan terus dicari jawabannya di berbagai sumber bahkan kepada nara sumber yang dianggap lebih paham dan kompeten.

Sikap yang ditunjukkan…

Blibli.com
Blibli.com

Tinggalkan Balasan